ARTIKELKU

Rabu, 26 Oktober 2011

PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN MENURUT AL-QURAN


BELAJAR MENGAJAR DALAM AL-QURAN
Membaca adalah sarana untuk belajar dan kunci ilmu pengetahuan, baik secara etimologis berupa membaca huruf – huruf yang tertulis dalam buku – buku maupun terminologis yaitu membaca ayat – ayat kauniyah ( hal 207). Al-Quran mengajak umat manusia untuk mencari ilmu dengan bernagai metode, salah satunya dalah metode belajar langsung yaitu mendatangi guru serta langsung melakukan proses belajar bersamanya. Sehingga ilmu yang di dapat tidak samar. Al-Quran memotivasi kepada manusia untuk  berjuang mencari ilmu dan memperdalam agama seperti firman Allah surat At-taubat 122 :

122. tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Al-quran menggunakan istilah Annafir dalam ayat tersebut, padahal lafald annafir banyak digunakan dalam jihad, hal ini dimaksudkan bahwa mencari ilmu bagian dari jihat fi sabililah. ( Hal 208). Ada satu nasehat yang terkenal bagi orang yang mencari ilmu
لاتأخذ العلم من صحفي ولا القران من مصحفي
Jangan mengambil ilmu hanya dari teks2, tapi dalam alquran harus ambil dari teks. ( hal 209 )
Dalam mencari ilmu manusia juga harus belajar dari hewan sekalipun walaupun itu anjing. Karena anjing diajari untuk memburu buruannya dengan gesit, tapi dia tidak memakan buruannya tersebut tetapi buruan itu dimanfaatkan oleh hewan lain misalnya, demikian juga dalam mencari ilmu bukan untuk diri sendidri akan tetapi juga ditularkan dan berguna bagi manusia lain. (hal. 209)  Dalam belajar juga diharuskan untuk mencari atau bertanya kepada guru – guru yang ahli dan kompeten seperti di firmankan Allah surat nahl. 43, anbiya’.7)43. dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan[828] jika kamu tidak mengetahui,7. Kami tiada mengutus Rasul Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.
Yang dimaksud orang ahli adalah orang – oaring yang mampu memecahkan persoalan, yang mampu mendiskusikan masalah – masalah, dann kesuliatan – kesulitan yang muncul.
Beberapa adab terpenting yang diajarkan Al-Quran dalam belajar antara lain ialah mencari tambahan ilmu dan berdo’a untuk menambah ilmu dan bertanya dengan pertanyaan dan cara yang baik . Dengan senantiasa berdoa untuk menambah ilmu, diharapkan manusia selalu merasa bahwa ilmu yang dimuilikinya belum sebarapa, betapapun cerdas ia. Sehingga diikuti dengan usaha untuk menambah ilmu sepanjang hayatnya (hal.210) . Adapun pertanyaan yang baik seperti ajarkan Al-quran ialah selalu mengajukan pertanyaan kepada ahlinya serta dengan cara yang baik, yaitu tidak mempersulit diri dengan pertanyaannya itu, seperti yang dilakukan oleh Bani israil ketika Allah menyuruh mereka untuk menyembelih seekor sapi betina ( hal. 215)  
67. dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan Kami buah ejekan?"[62] Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".
68. mereka menjawab: " mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina Apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu".
69. mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami agar Dia menerangkan kepada Kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya."
70. mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami agar Dia menerangkan kepada Kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi Kami dan Sesungguhnya Kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)."
71. Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." mereka berkata: "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu[63].
Al-quran juga menghimbau agar manusia siap menempuh jarak jauh apapun untuk mencari ilmu, apalagi jika sumber ilmu tidak terdapat di tempat sekitar kita. Siapapun ahlinya, apabila ia berilmu, wajib kita dartangi untuk dipelajari ilmunya, tanpa peduli usia dan derajatnya. Sebagaimana yang dilakukan Nabi Musa. Ketika ia mendatangai nabi Khidir. A. s untuk menuntut ilmu darinya (hal 212)
Adapun adab murid terhadap guru, seperti yang dicontohkan oleh nabi Musa As. Antara lain sebagai berikut :
  1. Menjadikan dirinyab sebagai pengikut gurunya.
  2. Minta izin untuk mengikuti gurunya
  3. Mengakui kebodohan dirinya
  4. Menunjukkan kerendahan hati dengan hanya meminta sebagian dari ilmunya yang berasal dari Allah
  5. Mengakui hanya Allah yang memberikan ilmu
  6. Senantiasa meminta petunjuk gurunya
  7. Meminta gurunya untuk memperlakukan dirinya sebagaimana seorang hamba yang senantiasa diberi nikmat ilmu pengetahuan
  8. Menyerahkan diri seepnuhnya kepada gurynya, tanpa menambah sedikitpun
  9. Bersikap tawadhu dan tidak pernah menyombongkan diri dengan apa yang dimilikinya
Tiga unsure pokok yang harus dimiliki seorang pencari ilmu ialah ;
1.      As-sam’u ( pendengaran )
2.      Al-Basyar ( penglihatan )
3.      Al-fuad (hati )

UMAYYAH II

A.      PENDAHULUAN.
Sebagai bagian dari khazanah masa lalu, sejarah panjang perjalanan islam telah membentuk suatu peradaban yang mengalami pasang surut. Hal ini tampak dalam hadis Nabi yang menjelaskan tentang keadaan dan kondisi umat islam, yang dalam hal ini Nabi cirikan dengan keadaan para penguasanya. Setidaknya beliau membagi fase peradaban islam setelah beliau wafat dalam empat fase. Fase pertama adalah fase dimana kepemimpinan kaum muslimin dikelola oleh orang-orang yang mengacu pada cara (manhaj) kepemimpinan nabi, yang adil dan mengangkat kewibawaan Islam. fase ini disepakati sudah berlalu dengan para aktornya adalahkhulafaaurrasyidiin.
Fase kedua merupakan masa dimana para penguasanya kebanyakan adalah penguasa yang sombong, angkuh dan tidak lagi menggunakan manhaj kepemimpinan nabi. Walaupun begitu, para penguasa di fase ini masih menggunakan hukum-hukum Islam sebagai dasar perundangan negara. Selanjutnya kaum muslimin akan dihadapkan dengan masa dimana para penguasanya adalah penguasa yang zholim, kejam dan menindas kaumnya sendiri. Fase inilah yang kemudian ditengarai sedang terjadi di dunia Islam pada masa-masa sekarang. setelah fase yang ketiga ini selesai, maka akan muncul masa dimana kepemimpinan umat Islam akan diusung kembali oleh penguasa yang adil. Yaitu orang-orang yang memimpin sesuai dengan manhaj kepemimpinan Rasulullah. Fase-fase peradaban Islam di atas, juga mewariskan berbagai macam hal yang sangat mempengaruhi dan berharga pada dinamika kehidupan peradaban manusia. Ditinjau dari warisan peradaban Islam dari masa ke masa, akan terlihat perbedaan mendasar karakteristik warisan itu, sesuai dengan fase peradaban Islam yang saat itu terjadi1.
Dalam makalah ini kami membatasi diri dalam pembahasan dinasti Bani Umayyah I, yang menjadi tonggak awal terbentuknya sistem monarkhi dalam islam dan perkembangan peradaban di dunia islam.
B.       PERMASLAHAN
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.        Bagaimana latar belakang berdirinya Daulah Umayyah I di Damaskus
2.        Apa saja kebijakan dan karakteristik Daulah
3.        Kemajuan Peradaban apa saja yang berkembang pada masa Pemerintahan Ummayah I
4.        Apa saja penyebab kemajuan, kemunduran dan kehancuran Daulah Umayyah I di Damaskus.
C.   PEMBAHASAN
1.        Proses Berdirinya Daulah Bani Umayah
Pada masa Pemerintahan Khalifah Usman bin Affan mengangkat Muawiyah bin abi sufyan menjadi Gubernur di syam, Usman mengangkat Muawiyah senbagai gubernur karena jasa – jasanya melakukan espedisi dan penaklukan – penaklukan wilayah yang dikuasai oleh bangsa Persia ( Abdul Hakim al, Afifi, 1000 Peristiwa dalam islam, Pustaka Hidayah bandung, 202, hlm. 86). Namun ketika  masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah diberhentikan, dan digantikan oleh  Sahal bin Hunaif. Pemecatan Ali atas Mu’awiyah ini didasarkan pada pengamatan beliau, bahwa pada hakikatnya penyebab kekacauan dan pemberontakan  adalah akibat ulah Mu’awiyah dan para gubenur lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahan. Bahkan peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan adalah akibat kelalaian mereka. Mereka tidak berbuat banyak, ketika keadaan Madinah sangat genting, padahal mereka mempunyai pasukan yang kuat.
Mu’awiyah dan penduduk syam tidak puas dengan pemecatan ini, dan menolaknya.  Ia mengembalikan  utusan khalifah dengan mengirimkan surat penolakan melalui kurir yang sekaliguis kurir tersebut  mempropagandakan pembangakangan terhadap Khalifah Ali. Mereka menuntut Ali bin Abi Thalib untuk  mengungkap dan menyelesaikan  masalah pembunuhan Utsman bin Affan. Apabila Ali tidak bisa mengungkapnya, maka Ali dianggap bersekongkol dengan pemberontak dan melindungi pembunuh Utsman.  Propaganda mereka diperkuat dengan membawa jubah Utsman yang berluuran darah dan potongan jari istri Utsman yang putus akibat melindungi suaminya dari usaha pembunuhan. Mu’awiyah berhasil mempengaruhi massa  yang kemudian mereka berpendapat bahwa Ali tidak mampu menyelesaikan kasus terbunuhnya Utsman bin Affan. Mereka menganggap bahwa Ali ikut terlibat  dalam pemberontakan untuk mengguligkan Khalifah Utsman bin Affan. Mu’awiyah kemudian mengumpulkan pendukungnya dan mempersiapkan diri  untuk memerangi Ali bin Abi Thalib.  Ia berhasil menarik simpati penduduk Syria, dan merekrut tokoh-tokoh seperti Amr bin Ash dengan tawaran jabatan yang strategis.
Melihat kondisi ini Khalifah Ali bin Abi Thalib mengirim utusan Jarir bin Abdullah  ke Damaskus untuk memperingatkan Mu’awiyah, dan ancaman  Khalifah akan mengirim pasukan untuk menggempur Mu’awiyah bila tetap membangkang. Akan tetapi Mu’awiyah malah mengkonsolidasikan pasukannya  dan berniat memerangi Ali bin Abi Thalib. Mereka berpendapat tidak akan melakukan baiat sebelum Ali berhasil menuntaskan kasus pembunuhan terhadap Utsman. Bila tidak, maka bukan baiat yang terjadi melainkan perang.
Setelah Khalifah Ali mendengarkan informasi yang dibawa oleh Jarir sekembalinya menghadap Khalifah, maka menurut Ali tidak ada pilihan lain kecuali memberangkatkan pasukan untuk  memerangi Mu’awiyah gubernur Syam yang membangkang. Kedua pasukan ini bertemu di lembah sungai Eufrat yang bernama Shiffin. Di tempat inilah kedua pasukan berperang dan saling bersuaha mengalahkan lawan masing-masing. Dan karena nama tempat inilah, sehingga perang antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan pasukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dikenal dengan nama perang Shiffin.
Pertempuran sesama pemimpin Islam ini berlangsung sangat sengit. Kedua pasukan mempunyai kekuatan yang berimbang, tetapi pada hari-hari berikutnya pasukan Mu’awiyah mulai terdesak. Menghadapi situasi begini Amr bin Ash dari pasukan Mu’awiyah mengusulkan perdamaian dengan mengangkat AlQur’an di ujung tombak, yang menandakan bahwa Al Qur’an akan dijadikan tahkim untuk menyelesaikan masalah ini. Pasukan Mu’awiyah menyetujui dan bermaksud menghentikan peperangan. Sementara Ali bin Abi Thalib menganggap bahwa yang demikian ini hanya tipu muslihat, karena mereka sudah mengalami kekalahan.
Menghadapi situasi begini Amr bin Ash dari pasukan Mu’awiyah mengusulkan perdamaian dengan mengangkat AlQur’an di ujung tombak, yang menandakan bahwa Al Qur’an akan dijadikan tahkim untuk menyelesaikan masalah ini. Pasukan Mu’awiyah menyetujui dan bermaksud menghentikan peperangan. Sementara Ali bin Abi Thalib menganggap bahwa yang demikian ini hanya tipu muslihat, karena mereka sudah mengalami kekalahan.
Ali bin Abi Thalib meyerukan untuk terus melanjutkan peperangan sampai dapat mengalahkan Mu’awiyah. Akan tetapi sebagian  pasukan Ali mulai mengehtikan peperangan, mereka ingin perselisihan ini diselesaikan lewat perdamaian dengan Al Qur’an sebagai tahkimnya. Dan sebagian yang lain tetap ingin melanjutkan peperangan, sebab kemenangan sudah ada dipihaknya dan mereka menganggap upaya Amru bin Ash itu hanya tipu muslihat. Melihat perpecahan pasukannya ini dan desakan untuk menyelenggarakan tahkim, akhirnya Ali terpaksa menghentikan peperangan dan mengadakan tahkim.
Pertemuan untuk menyelesaikan krisis antara Ali dan Mu’awiyah dilaksanakan di suatu tempat di selatan Syria yang disebut dengan Daumatul Jandal. Pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al Asy’ari seorang sahabat besar yang alim dan taqwa, tetapi ia bukan politisi, dan tidak memiliki kekuatan dalam beragumentasi dan berdiplomasi. Sedangkan pihak Mu’awiyah diwakili oleh Amru bin Ash seorang politisi yang licin, ahli strategi, dan mempunyai kemampuan diploimasi yang sangat kuat. Kemudian masing-masing pihak mengirimkan utusan sebagai saksi 400 orang. (http://kafeilmu.com/2010/10/proses-berdirinya-daulah-bani-umayah-bagian-.html ixzz1aUPFj7FD )
Di dalam perundingan kedua utusan sepakat, bahwa pangkal persoalan yang tengah melanda umat Islam adalah soal pemimpin, oleh sebab itu cara yang terbaik adalah menurunkan kedua pemimpin itu dan membentuk lembaga Syuro untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin umat Islam. Kesepakatan ini kemudian dinyatakan bersama-sama di muka umum. Untuk yang pertama Abu Musa Al Asy’ari menyampaikan, bahwa untuk mengembalikan suasana kedamaian, maka Ali bin Abi Thalib diminta turun dari jabatannya sebagai khalifah dan menyerahkannya kepada lembaga syura yang akan memilih khalifah. Begitu juga Mu’awiyah diminta untuk meletakkan jabatannya agar suasana menjadi aman dan damai. Tetapi ketika giliran Amru Bin Ash menyampaikan, ia meminta agar Ali bin Abi Thalib mengundurkan diri dari khalifah, sementara Mu’awiyah tidak perlu mengundurkan diri, karena ia hanya sebagai gubernur bukan khalifah. Pernyataan ini ditolak oleh Ali bin Abi Thalib, karena dianggap tidak adil dan merugikan pihaknya. Para pengikut Ali menyadari bahwa perundingan itu hanyalah tipu daya amr bi Ash saja. Mereka banyak yang kecewa dari pelaksanaan tahkim itu. Mereka menuntut keadilan, dan meminta pertanggungjawaban orang-orang yang terlibat dalam tahkim. Orang-orang yang kecewa ini akhirnya menyatakan diri sebagai oposisi dan keluar dari barisan Khalifah, yang di dalam sejarah Islam mereka disebut dengan kaum Khawarij, artinya oang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian pasukan Khalifah menjadi terpecah dan lemah, sehingga tidak mampu lagi mengalahkan pasukan Mu’awiyah.
Orang-orang yang kecewa ini akhirnya menyatakan diri sebagai oposisi dan keluar dari barisan Khalifah, yang di dalam sejarah Islam mereka disebut dengan kaum Khawarij, artinya oang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib.(  Abdul Hakim al, Afifi, 1000 Peristiwa dalam islam, Pustaka Hiodayah, Bandung 2002.hlm. 7 )
Setelah peristiwa tahkim, kelompok Khawarij yang merasa tidak puas atas hasil perundingan tersebut ingin menyelesaikan masalah konflik umat Islam ini dengan caranya sendiri. Mereka menganggap bahwa orang-orang yang terlibat dalam tahkim telah keluar dari agama Islam, karna tidak bertahkim tidak menggunakan AlQur’an. Mereka menyusun kekuatan dan merencanakan untuk membunuh Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan Amr bin Ash. Ketiga orang ini yang paling bertanggung jawab atas adanya tahkim, mereka dianggap telah kafir dan berhak untuk dibunuh.
Untuk membunuh tiga orang itu, Abdurrahman bin Muljam ditugasi untuk membunuh Ali bin Abi Thalib, di Kufah. Al Hajjah bin Abdillah At Tamimi ditugasi membunuh M’awiyah bin Abi Sufyan di Syiriya. Dan Amir bin Abu Bakr ditugasi ke Mesir untuk membunuh Amr bin Ash. Akan tetapi hanya Abdurrahman bin Muljam yang berhasil menyelesaikan tugasnya. Ia berhasil membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib ketika beliau sedang Shalat Shubuh 15 Ramadlan 40 H. Sementara dua utusan yang lain gagal untuk membunuh Mu’awiyah bin Abi Sufyan, karena ia sedang tidak keluar shalat shubuh, dan satunya terbunuh lebih dahulu sebelum berhasil membunuh Amr bin Ash.
Dengan terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib oleh bekas pengikutnya sendiri ini, maka keadaan poilitik umat Islam semakin tidak menentu, dan kekacauan semakin meluas. Oleh sebab itu para pengikut Ali bin Abi Thalib dan umat Islam di Kufah, Bashrah dan Madinah melakukan baiat kepada Hasan bin Ali sebagai khalifah menggantikan ayahnya. Baiat yang di pimpin oleh Qais bin Saad ini bukan merupakan rekayasa, tatapi karena tidak ada pilihan lain saat itu. Umat Islam menyadari, bahwa Hasan bukan tokoh yang tegas dan tegar seperti ayahnya, tetapi umat Islam membutuhkan pemimpin yang kharismatik dan shalih.
Pengangkatan atas Hasan bin Ali sebagai khalifah ini tetap tidak mendapat persetujuan dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan para pengikutnya. Mereka berharap sebagai pengganti Ali adalah Mu’awiyah. Oleh sebab itu Mu’awiyah berusaha merebut kekuasaan dari Hasan, dengan cara membendung arus masa pendukung Hasan, khususnya dari Kufah dan Bashrah. Ia sudah mempunyai kekuatan yang besar, sementara Hasan mempunyai banyak kelemahan dan tidak sekuat ayahnya. Kondisi yang demikian ini tidak disia-siakan oleh Mu’awiyah. Ia segera menyusun pasukan untuk menyerang Hasan bin Ali.
Melihat kondisi demikian, Qais bin Saad dan Abdullah bin Abbas mengusulkan kepada Hasan agar melakukan serangan ke Damaskus, sebelum diserang Mu’awiyah. Usul kedua tokoh ini diterima oleh Hasan, yang kemudian ia memberangkatkan pasukan dengan kekuatan 12000 tentara di bawah pimpinan kedua tokoh tersebut. Pasukan Hasan ini kemudian bertemu dengan pasukan Mu’awiyah dan terjadilah pertempuran di Madain. Mu’awiyah tiak hanya melakukan peperangn fisik, tetapi mereka menggunakan perang urat syaraf (psy war) dengan menyebarkan berbagai macam isu untuk melemahkan kekuatan pasukan Hasan. Akibatnya pasukan Hasan terpengaruh dan mulai lemah dalam peperangan, mereka ingin mengakhiri peperangan, bahkan sebagian mulai berbalik dengan tidak menyukai Hasan. Sehingga Hasan akhirnya terpaksa memlilih jalan negosiasi dengan Mu’awiyah untuk mengakhiri perseteruan di antara mereka.
Hasan bin Ali mengirim utusan Amr bin Salmah untuk mengajak perdamaian. Hasan bersedia menyerahkan kekuasaan kepada Mu’awiyah dengan berbagai persyaratan, antara lain menyerahkan harta baitul Mal kepada Hasan untuk menutup kerugian peperangan yang dilakukannya. Dan pihak Mu’wiyah tidak mencaci maki bapaknya dan keluarganya lagi. Muawiyah juga harus meneruskan kebijakan ayahnya terhadap para ahli Madinah, Kufah dan Bashrah untuk tidak menarik sesuatu dari mereka. Dan yang paling penting permintaan Hasan adalah sepeninggal Mu’awiyah menjadi Khalifah, kekhalifahan harus diserahkan kepada Umat Islam melalui pemilihan umum. ( Abdul Hakim al, Afifi, 1000 Peristiwa dalam islam.. hlm. 101)
            Semua permintaan Hasan ini disetujui oleh Mu’awiyah. Kemudian keduanya bertemu di salah satu tempat yang dikenal dengan nama Maskin untuk mengadakan serah terima kekuasaan dan kemudian Hasan melakukan baiat kepada Mu’awiyah sebagai Khalifah. Hasan kemudian meminta para pendukungnya untuk melakukan baiat kepada Mu’awiyah sabagai Khalifah umat Islam. Akan tetapi karena alasan-alasan tertentu tidak semua pendukung Hasan bersedia melakukan bai’at, khususnya ahli Bashrah. Mu’awiyah terus mempropagandakan dirinya untuk mendapatkan pengakuan sebagai khalifah. Karena bagaimanapun juga Hasan sudah menyerahkan kekhalifahan kepadanya.
            Peristiwa yang terjadi pada tahun 41 H/661 M. ini dikenal dengan nama Amul Jamaah, artinya, tahun di mana umat Islam bersatu kembali dalam satu kepemimpian. Jabatan tertinggi umat Islam secara de facto dan de jure berada di tangan Mu’awiyah bin Abi sufyan. Terlepas apakah untuk memperoleh kekuasaan itu dilakukan dengan cara paksa atau tidak, dan terlapas apakah persyaratan yang diminta oleh Hasan akan dipenuhi oleh Mu’awiyah atau tidak, yang jelas kekuasaan khilafah dipegang oleh Mu’awiyah, dan sudah tidak ada lagi kelompok yang mengaku berkuasa dan menentangnya.
            Umat Islam mulai dengan lembaran baru. Daulah Bani Umayah berdiri (41 - 132 H/661 - 750 M.) Tatanan politik dan pemerintahan yang dibangun oleh Khulafaur Rasyidin berubah dengan sistem politik dan pemerintahan baru yang dilakukan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan para khalifah penggantinya (Ajid  Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, Rajawali Pers. Jakarta, 2004, hlm. 33)Bottom of Form
2.        PERKEMBANGAN BANI UMMAYAH
      Bani Umayyah merupakan anak turun dari Umayyah bin Abdul Syams, yang merupakan salah satu dari suku Quraisy. Pada masa sebelum islam bani Umayyah selalu bersaing dengan bani Hasyim yang juga termasuk suku Quraisy. Pada masa itu, bani Umayyah memegang peranan penting dalam masyarakat Mekah. Merekalah yang menguasai pemerintahan dan perdagangan pada masa itu. Akan tetapi, ketika agama islam mulai berkembang dan mendapatkan pengikut, mereka merasa bahwa kekuasaan dan perekonomiannya menjadi terancam. Sehingga pada waktu itu mereka sangat memusuhi agama islam. Namun pada akhirnya, ketika islam menjadi kuat dan dapat menguasai Mekah, mereka mulai menyerah dan bahkan mau memeluk islam. Diantara mereka terdapat Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang dikemudian hari menjadi pendiri dinasti Umayyah.
            Kerajaan Bani Umayyah didirikan oleh Mu’awiyah Bin Abu Sufyan pada tahun 41 H/661 M di Damaskus dan berlangsung hingga pada tahun 132H/750 M. Muawiyah bin Abu Sufyan adalah seorang politisi handal dimana pengalaman politiknya sebagai gubernur Syam pada masa khalifah Utsman bin Affan cukup mengantar dirinya mampu mengambil alih kekuasaan dari gegaman keluarga Ali bin Abi Thalib. Tepatnya setelah Husein putra Ali bin Thalib dapat dikalahkan oleh Umayyah. (Ensiklopedia Islam, dewan redaksi ensiklopedi islam, Ikhtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994, vol. V hlm.130)
      Kekhalifahan Muawiyah ini diperoleh melalui kekerasan, diplomasi, dan tipu daya , tidak dengan pemilihan. Hal ini berbeda dengan proses pemilihan kepala Negara pada masa sebelumnya, yang diniliai cukup demokrasi. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya "Khalifah Allah" dalam pengertian "penguasa" yang diangkat oleh Allah.
      Keberhasilan Muawiyah mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya akibat dari kemenangan terbunuhnya Khalifah Ali, akan tetapi ia memiliki basis rasional yang solid bagi landasan pembangunan politiknya dimasa depan. Adapun faktor keberhasilan tersebut adalah :
  1. Dukungan yang kuat dari rakyat Syria dari keluarga Bani Umayyah.
  2. Sebagai administrator, Muawiyah mampu berbuat secara bijak dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting.
  3. Muawiyah memiliki kemampuan yang lebih sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat hilm sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu, yang mana seorang manusia hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan- keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi (Kepemimpinan Pada Masa Bani Umayyah Dan Bani Abasiyah, http://zanikhan.multiply.com).
Adapun raja-raja yang berkuasa pada dinasti Umayyah I ini berjumlah 14,
antara lain :
  1. Muawiyah I bin Abu Sufyan, 41-61 H / 661-680 M
  2. Yazid I bin Muawiyah, 61-64 H / 680-683 M
  3. Muawiyah II bin Yazid, 64-65 H / 683-684 M
  4. Marwan I bin al-Hakam, 65-66 H / 684-685 M
  5. Abdullah bin Zubair bin Awwam, (peralihan pemerintahan, bukan Bani Umayyah).
  6. Abdul-Malik bin Marwan, 66-86 H / 685-705 M
  7. Al-Walid I bin Abdul-Malik, 86-97 H / 705-715 M
  8. Sulaiman bin Abdul-Malik, 97-99 H / 715-717 M
  9. Umar II bin Abdul-Aziz, 99-102 H / 717-720 M
  10. Yazid II bin Abdul-Malik, 102-106 H / 720-724 M
  11. Hisyam bin Abdul-Malik, 106-126 H / 724-743 M
  12. Al-Walid II bin Yazid II, 126-127 H / 743-744 M
  13. Yazid III bin al-Walid, 127 H / 744 M
  14. Ibrahim bin al-Walid, 127 H / 744 M
  15. Marwan II bin Muhammad (memerintah di Harran, Jazira), 127-133 H / 744-750 M

      Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi’ah (pengikut Ali) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadab Bani Umayyah dimulai oleh Husein ibn Ali.
      Setelah Yazid wafat, pemerintahan digantikan oleh Mu’awiyah II bin Yazid. Namun, Mu’awiyah II tidak sanggup memerintah dan menyerahkan kepemimpinannya kepada Marwan bin Hakam. Akan tetapi, Marwan hanya memerintah selama 9 bulan dan mengundurkan diri karena tidak bisa menghadapi pergolakan politik yang terjadi. Suasana kerajaan bisa dipulihkan setelah kekhalifahan dipegang oleh Abdul Malik bin Marwan, tepatnya ketika gerakan yang dipimpin oleh Abdullah bin Zubeir berhasil ditumpas. Pada masa inilah kemajuan dinasti Umayyah dimulai, diantaranya :
a. Menetapkan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi.
b. Mendirikan Balai kesehatan untuk rakyat.
c. Mendirikan Masjid di Damaskus. (HODGSON, Marshall G.S.; THE VENTURE OF ISLAM, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia; Jilid Pertama: Masa Klasik Islam; Buku Kedua: Peradaban Khalifah Agung. Jakarta: PARAMADINA, 1999. hlm 19)
            Kejayaan Kerajaan Umayyah semakin menonjol setelah diperintahkan Al-Walid
bin Abdul Malik, yaitu tahun 705-715 M. Pada masanya, kerajaanUmayyah  mampu memperluas wilayah kekuasaan Islam sampai ke India, Afrika Utara, hingga Maroko, dan Andalusia. Pada masa ini perluasan wilayah Islam meliputi sebagai berikut:
a.       Wilayah kekuasaan Kerajaan Romawi di Asia Kecil meliputi Ibukota
  1. Konstantinopel serta perluasan ke beberapa pulau di Laut Tengah.
  2. Wilayah Afrika Utara sampai ke pantai Atlantik dan menyeberangi selat
  3. Jabal tarik (Selat Gibraltar).
  4. Wilayah Timur, Bagian Utara di seberang sungai Jihun (Amru Daria)
      Pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd Al-Aziz (717-720 M) hubungan pemerintah dengan golongan oposisi mulai membaik. Ketika dinobatkan sebagai khalifah, Beliau menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah perluasannya. Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, dia berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi’ah. Dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan, kedudukan Mawali disejajarkan dengan muslim Arab.
      Sepeninggal Umar ibn Abd Al-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah berada di bawah khalifah Yazid ibn Abd al-Malik (720- 724 M). Penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid ibn Abd Al-Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam ibn Abd Al-Malik (724-743 M). Bahkan di zaman Hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan Mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru ini, mampu menggulingkan dinasti Umayyah dan menggantikannya dengan dinasti baru, Bani Abbas. Sebenarnya Hisyam ibn Abd al-Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi terlalu kuat khalifah tidak berdaya mematahkannya.
      Sepeninggal Hisyam ibn Abd al-Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk.
Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah, melarikan diri ke Mesir, ditangkap dan dibunuh di sana. ( Muhammad Syu'ub,  Sejarah Bani Umayyah, Penerbit PT.Bulan Bintang. 2005, hlm 93 )
C. System Pemerintahan Dinasti Umayyah I
            Memasuki masa kekuasaan Mu’awiyyah yang menjadi awal kekuasaan bani Umayyah ini, sistem pemerintahan islam yang dulunya bersifat demokrasi berubah menjadi monarki heredetis (kerajaan turun temurun). Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid (Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, As-Syiyasah As-Syar’iyah fi Islah Ar-Ra’iyah, Mesir, Darul Kitab al-Gharbi, 1951 HLM. 42) .Beliau menjadikan azas nepotisme sebagai dasar pengangkatan khalifah. Hal ini menunjukkan bahwa Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium, yakni penerapan garis-garis kepemimpinan.
      Perintah ini tentu saja memberikan sinyal awal bahwa kesetiaan terhadap Yazid merupakan bentuk pengokohan terhadap sistem pemerintahan yang turun temurun telah coba dibangun oleh Mu’awiyah. Tidak ada lagi suksesi kepemimpinan berdasarkan asas musyawarah (syuro) dalam menentukan seorang pemimpin baru. Mu’awiyah telah merubah model kekuasaan dengan model kerajaan yang membenarkan regerisasi kekuasaan dengan cara memberikan kepada putera mahkota. Orang-orang yang berada di luar garis keturunan Mu’awiyah, secara substansial tidak memiliki ruang dan kesempatan yang sama untuk memimpin pemerintah Umat Islam, karena sistem dinasti hanya membenarkan satu kebenaran bahwa suksesi hanya bisa diberikan kepada keturunan dalam dinasti tersebut ( Dinasti Bani Umayyah : Perkembangan Politik, Gerakan Oposisi, Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Kejatuhan Dinast), Mohammad Suhaidi RB http:// deemuhammad.blogspot.com).
      Tradisi bentuk khilafah konfederasi yang dicanangkan Rasul pada tahun 622 M (awal periode Madinah), terus berlanjut hingga masa Dinasti Umayyah sejak tahun 661 M. Bedanya, Rasul menerapkan bentuk konfederasi kabilah, sedangkan Dinasti Umayyah menerapkan konfederasi propinsi. Untuk  menangani banyaknya propinsi yang ada, maka khalifah ketika itu, Muawiyah bin Abu Sofyan, mencoba menggabung beberapa wilayah menjadi satu propinsi. Wilayah-wilayah ini terus berkembang sejalan dengan keberhasilan program futuhat. Setiap gubernur memilih amir atas jajahan yang berada dalam kekuasaannya, dan para amir tersebut bertanggung jawab langsung kepada khalifah. Konsekuensinya, para amir berfungsi sebagai khalifah di daerah. Nilai politis kebijakan ini adalah upaya sentralisasi wilayah kekuasaan, mengingat potensi daerah-daerah tersebut dalam menopang jalannya pemerintahan, baik dari sudut pandang ekonomi, maupun keamanan dan pertahanan nasional. Pada masa Hisyam bin Abdul Malik, Gubernur mempunyai wewenang penuh dalam hal administrasi politik dan militer dalam propinsinya, namun penghasilan daerah ditangani oleh pejabat tertentu (sahib al-kharaj) yang mempunyai tanggung jawab langsung pada khalifah.
      Pada masa pemerintahan Muawiyah Konsolidasi Internal mulai dilakukan. Tujuannya adalah untuk memperkokoh barisan dalam rangka pertahanan dan keamanan dalam negeri, antisipasi atas setiap gerakan pemberontak, dan untuk
memperlancar program futuhat. Ada lima diwan (lembaga) yang menopang suksesnya konsolidasi yang dilakukan, yakni: Diwan al-Jund (Urusan Kemiliteran), Diwan ar-Rasail (Urusan Administrasi dan Surat), Diwan al-Barid (Urusan Pos), Diwan al-Kharaj (Urusan Keuangan), dan Diwan al-Khatam (Urusan Dokumentasi).
      Dari segi organisasi militer, pada masa dinasti ini bangsa arab telah mencapai perkembangan yang cukup signifikan. Jumlah tentara ketika pemerintahan berada dibawah kekuasan Muawiyah berjumlah 60.000 orang, dengan anggaran sebesar 60 juta dirham. Setelah penaklukan Bizantium, angkatan perang Umayyah didata dalam sebuah organisasi yang cukup besar. Satu divisi terdiri dari 5 corp, dua corp untuk barisan depan, satu corp untuk barisan tengah, dan dua corp lagi adalah untuk barisan belakang. Organisasi ini masih terus berlangsung hingga akhir pemerintahan Marwan (II) bin Muhammad. Ia menghapus organisasi ini dan mengenalkan susunan tentara yang disebut kurdus. Para tentara dilengkapi dengan senjata canggih pada masa itu, seperti peluru yang digerakkan dengan roket.
      Dari segi cara hidup, para khalifah Dinasti Umayyah telah meninggalkan pola dan cara hidup Nabi Muhammad SAW dan Khulafa' Ar-Rasyidun. Mereka menjaga jarak dengan masyarakat, dengan tinggal di istana yang dikelilingi oleh para pengawal. Baitul mal yang selama masa pemerintahan sebelumnya difungsikan sebagai dana swadaya masyarakat yang difungsikan untuk kepentingan rakyat, pada masa Umayyah telah berubah fungsi. Kecuali ketika dinasti Umayyah di bawah pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, kas negara adalah milik penguasa dan keluarganya. Rakyat hanya wajib untuk menyetor pajak tanpa mempunyai hak menanyakan penggunaannya. Pada masa ini pajak Negara dialihkan menjadi harta pribadi para kholifah. Pendapatan pajak diperoleh dari, pajak tanah, jizyah, zakat, cukai dan pajak pembelian, upeti yang harus dibayar menurut perjanjian, seperlima ghonimah, fai’, impor tambahan hasil bumi, hadiah festifal, dan upeti anak dari bangsa barbar.

D. Perkembangan Peradaban Dinasti Umayyah I
1. Sistem Politik Dan Perluasan Wilayah
Dijaman Muawiyah, Tunisia dapat ditaklukkan. Disebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai kesungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke Ibu Kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Abd Al-Malik, dia menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Baikh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Mayoritas penduduk dikawasan ini kaum Paganis. Pasukan islam menyerang wilayah Asia Tengah pada tahun 41H / 661M. pada tahun 43H / 663M mereka mampu menaklukkan Salistan dan menaklukkan sebagian wilayah Thakaristan pada tahun 45H / 665M. Mereka sampai kewilayah Quhistan pada tahun 44H / 664M. Abdullah Bin Ziyad tiba dipegunungan Bukhari. Pada tahun 44H / 664M para tentaranya datang ke India dan dapat menguasai Balukhistan,Sind, dan daerah Punjab sampai ke Maitan.
Ekspansi kebarat secara besar-besaran dilanjutkan dijaman Al-Walid Ibn Abd Abdul Malik (705M-714M). Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat islam merasa hidup bahagia, tidak ada pemberontakan dimasa pemerintahanya. Dia memulai kekuasaannya dengan membangun Masjid Jami’ di Damaskus. Masjid Jami’ ini dibangun dengan sebuah arsitektur yang indah, dia juga membangun Kubbatu Sharkah dan memperluas masjid Nabawi, disamping itu juga melakukan pembangunan fisik dalam skala besar.
Pada masa pemerintahannya terjadi penaklukan yang demikian luas, penaklukan ini dimulai dari Afrika utara menuju wilayah barat daya, benua eropa yaitu pada tahun 711M. Setelah Al Jazair dan Maroko dapat ditaklukkan, Tariq Bin Ziyad pemimpin pasukan islam dengan pasukannya menyebrangi selat yang memisahkan antara Maroko dengan Benua Eropa dan mendarat disuatu tempat yang sekarang dikenal nama Bibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan, dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi.
Selanjutnya Ibu Kota Spanyol Kordova dengan cepatnya dapat dikuasai, menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Sevi’e, Elvira, dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova. Pasukan islam memperoleh dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Pada masa inilah pemerintah islam mencapai wilayah yang demikian luas dalam rentang sejarahnya, dia wafat pada tahun 96H / 714M dan memerintah selama 10 tahun.
Dijaman Umar Ibn Ab Al-Aziz masa pemerintahannya diwarnai dengan banyak Reformasi dan perbaikan. Dia banyak menghidupkan dan memperbaiki tanah-tanah yang tidak produktif, menggali sumur-sumur baru dan membangun masjid-masjid. Dia mendistribusikan sedekah dan zakat dengan cara yang benar hingga kemiskinan tidak ada lagi dijamannya. Dimasa pemerintahannya tidak ada lagi orang yang berhak menerima zakat ataupun sedekah. Berkat ketaqwa’an dan kesalehannya, dia dianggap sebagai salah seorang Khulafaur Rasyidin. Penaklukan dimasa pemerintahannya pasukan islam melakukan penyerangan ke Prancis dengan melewati pegunungan Baranese mereka sampai ke wilayah Septomania dan Profanes, lalu melakukan pengepungan Toulan sebuah wilayah di Prancis. Namun kaum muslimin tidak berhasil mencapai kemenangan yang berarti di Prancis. sangat sedikit terjadi perang dimasa pemerintahan Umar. Dakwah islam marak dengan menggunakan nasehat yang penuh hikmah sehingga banyak orang masuk islam, masa pemerintahan Umar Bin Abd Aziz terhitung pendek.
Dijaman Hasyim Ibn Abd Al-Malik (724-743M) pemerintahannya dikenal dengan adanya perbaikan-perbaikan dan menjadikan tanah-tanah produktif. Dia membangun kota Rasyafah dan membereskan tata administrasi. Hasyim dikenal sangat jeli dalam berbagai perkara dan pertumpahan darah. Namun dia dikenal sangat kikir dan pelit. Penaklukan dimasa pemerintahannya yang dipimpin oleh Abdur Rahman Al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeau, Poitiers, dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun dalam peperangan yang terjadi diluar kota Tours, Al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Prancis pada tahun 114H / 732M. peristiwa penyerangan ini merupakan peristiwa yang sangat membahayakan Eropa.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik ditimur maupun barat. Wilayah kekuasaan islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan Purkmenia, Ulbek, dan Kilgis di Asia Tengah.
Khususnya dibidang Tashri, kemajuan yang diperoleh sedikit sekali, sebab kurangnya dukungan serta bantuan pemerintah (kerajaan) waktu itu. Baru setelah masa khalifah Umar Bin Abd Al-Aziz kemajuan dibidang Tashri mulai meningkat, beliau berusaha mempertahankan perkembangan hadits yang hampir mengecewakan, karena para penghafal hadits sudah meninggal sehingga Umar Bin Abd Al-Aziz berusaha untuk membukukan Hadits.
Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan Ibn Ali ketika dia naik tahta yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai putra mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi dikalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.
            Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Semasa bani Umayyah berkuasa, banyak institusi politik dibentuk, misalnya undang-undang pemerintahan, dewan menteri, lembaga sekretariat negara, jawatan pos dan giro serta penasihat khusus di bidang politik. Dalam tatanan ekonomi dan keuangan juga dibentuk jawatan ekspor dan impor, badan urusan logistik, lembaga sejenis perbankan, dan badan pertanahan negara. Sedang dalam tatanan teknologi, dinasti ini telah mampu menciptakan senjata-senjata perang yang canggih pada masanya, sarana transportasi darat maupun laut, sistem pertanian maupun pengairan (Ajid Thohir,  Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam: Rajawali Pers, 2003: hlm 37 ).
      Muawiyah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Lambang Negara yang sebelumnya tidak pernah dibuat oleh Al-Khulafaur Rasyidin, mulai dibuat pada masa ini. Ia menetapkan bendera merah sebagai lambang negaranya, yang menjadi ciri khas kerajaan Umayyah.
      Kholifah Abd Al-Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Ia juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.
      Keberhasilan Khalifah Abd Al-Malik diikuti oleh puteranya Al-Walid ibn Abd Al-Malik (705- 715 M) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti-panti untuk orang cacat. Semua personel yang terlibat dalam kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara secara tetap. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung- gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.
2.  Sistem Ekonomi
Bidang-bidang ekonomi yang terdapat pada jaman Bani Umayyah terbukti berjaya membawa kemajuan kepada rakyatnya yaitu:
-    Dalam bidang pertanian Umayyah telah memberi tumpuan terhadap pembangunan sector pertanian, beliau telah memperkenalkan system pengairan bagi tujuan meningkatkan hasil pertanian.
-    Dalam bidang industri pembuatan khususnya kraftangan telah menjadi nadi pertumbuhan ekonomi bagi Umayyah.
3. Bidang sosial
      Pada masa dinasti ini, stratifikasi sosial mulai dikenal. Rakyat imperium arab terbagi kedalam empat golongan. Golongan pertama merupakan golongan yang terdiri atas kaum muslimin yang memegang kekuasaan dan dikepali oleh anggota istana serta kaum ningrat dari penakluk arab. Golongan kedua merupakan golongan neomuslim, baik dengan atas kemauan sendiri maupun paksaan. Golongan ketiga merupakan kaum non muslim yang mengikat perjanjian dengan kaum muslim. Golongan keempat merupakan golongan budak yang merupakan golongan terendah.
      Meskipun sistem pemerintahan tidak berjalan demokratis, namun kondisi sosial pada masa dinasti Umayyah tetap damai dan adil. Kebebasan memeluk agama pun juga dijamin. Diantara usaha positif yang dilakukan oleh para khilafah daulah Bani Umayyah dalam mensejahterakan rakyatnya ialah dengan memperbaiki seluruh sistem pemerintahan dan menata administrasi yang bertugas mengurusi masalah keuangan negara yang dipergunakan untuk:
1. Gaji pegawai dan tentara serta gaya tata usaha Negara.
2. Pembangunan pertanian, termasuk irigasi.
3. Biaya orang-orang hukuman dan tawanan perang
4. Perlengkapan perang (Sistem Sosial Budaya dan Model Pemerintahan Pada Masa Bani Umayyah, Imronfauzi.wordpress.com )
      Disamping usaha tersebut Daulah Bani Umayyah memberikan Hak dan perlindungan kepada warga Negara yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kesewenangan. Oleh karena itu Daulah ini membentuk lembaga kehakiman. Lembaga kehakiman ini dikepalai oleh seorang ketua Hakim (Qadli). Seorang hakim (Qadli) memutuskan perkara dengan ijtihadnya. Para hakim menggali hukum berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Disamping itu kehakiman ini belum terpengaruh atau dipengaruhi politik, sehingga para hakim dengan kekuasaan penuh berhak memutuskan suatu perkara tanpa mendapat tekanan atau pengaruh suatu golongan politik.
Disamping itu, kekuasaan islam pada masa Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pengembangan peradaban seperti pembangunan di berbagai bidang, seperti:
·         Muawiyah mendirikan Dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda dengan peralatannya disepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata.
·         Lambang kerajaan sebelumnya Al-Khulafaur Rasyidin, tidak pernah membuat lambang Negara baru pada masa Umayyah, menetapkan bendera merah sebagai lambang negaranya. Lambang itu menjadi ciri khas kerajaan Umayyah.
·         Arsitektur semacam seni yang permanent pada tahun 691H, Khalifah Abd Al-Malik membangun sebuah kubah yang megah dengan arsitektur barat yang dikenal dengan “The Dame Of The Rock” (Gubah As-Sakharah).
·         Pembuatan mata uang dijaman khalifah Abd Al Malik yang kemudian diedarkan keseluruh penjuru negeri islam.
·         Pembuatan panti Asuhan untuk anak-anak yatim, panti jompo, juga tempat-tempat untuk orang-orang yang infalid, segala fasilitas disediakan oleh Umayyah.
·         Pengembangan angkatan laut muawiyah yang terkenal sejak masa Uthman sebagai Amir Al-Bahri, tentu akan mengembangkan idenya dimasa dia berkuasa, sehingga kapal perang waktu itu berjumlah 1700 buah.
            Pada masa Umayyah, (Khalifah Abd Al-Malik) juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.
4.        Bidang pendidikan
      Nampaknya pendidikan Islam pada masa periode Dinasti Umayyah ini hampir sama dengan pendidikan pada masa Khulafa ar Rasyiddin. Para Khulafa agaknya kurang memperhatikan bidang pendidikan, sehingga perkembangannya pun kurang maksimal. Meskipun demikian, Dalam bidang ini, dinasti Umayyah memberikan andil yang cukup signifikan bagi perkembangan budaya arab pada masa sesudahnya, terutama dalam pengembangan ilmu-ilmu agama islam, sastra, dan filsafat.
            Bila dibandingkan dengan masa Khulafa Ar-Rasyidin, pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah telah mengalami perkembangan. Hal ini ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah di tempat-tempat yang telah disediakan untuk kegiatan tersebut. Materi yang diajarkan bertingkat- tingkat dan bermacam-macam, dimana kurikulumnya telah disesuaikan dengan tingkatannya masing-masing. Metode pengajarannya pun tidak sama. Sehingga melahirkan beberapa pakar ilmuwan dalam berbagai bidang tertentu. (  Mahmud. Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, PT. Hida Karya Agung, 1981, hlm. 39)
      Tempat-tempat yang telah disediakan demi perkembangan pendidikan Islam pada masa Dinasti Umayyah ada tiga yaitu: Kuttab, Mesjid, dan Majelis Sastra. Khuttab merupakan tempat anak-anak belajar menulis dan membaca, menghafal Al Quran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam.10 Setelah pelajaran anak-anak di kuttab selesai mereka melanjutkan pendidikan yang dilakukan di mesjid. Pada Dinasti Umayyah ini pendidikan yang dilaksanakan di mesjid terdiri dari dua tingkat yaitu: tingkat menengah dan tingkat tinggi. Pada tingkat menengah guru belumlah ulama besar sedangkan pada tingkat tinggi gurunya adalah ulama yang dalam ilmunya dan masyhur kealiman serta keahliannya. Sedangkan Majelis sastra, merupakan balai pertemuan untuk membahas masalah kesusasteraan dan juga sebagai tempat berdiskusi mengenai urusan politik yang disiapkan oleh khalifah yang dihiasi dengan hiasan yang indah dan hanya diperuntukkan bagi sastrawan dan ulama terkemuka.
5.        Bidang seni
      Pada masa Daulah Bani Umayyah ini bidang seni juga mengalami perkembangan, terutama seni bahasa, seni suara, seni rupa, dan seni bangunan (Arsitektur). Dalam bidang arsitektur, peranan kholifah daulah Umayyah sangat menonjol. para kholifah sangat menyokong perkembangan seni ini seperti menara yang diperkenalkan oleh Mu’awiyah. Kubah as-sakhra di yerussalem yang dibangun oleh Abdul Malik pada tahun 691, merupakan salah satu contoh hasil karya arsitek muslim zaman permulaan yang paling cantik. Bangunan ini merupakan masjid yang pertama kali ditutup dengan kubah. Pada sekitar abad VII Walid ibn Abdul Malik membangun masjid agung di syiria berdasarkan nama-nama penguasa dinasti umayyah. Dengan demikian, perkembangan arsitektur mencapai puncaknya pada bentuk dan arsitektur masjid-masjid.
6.        Sistem Militer
Salah satu kemajuan yang paling menonjol pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah adalah kemajuan dalam system militer. Selama peperangan melawan kakuatan musuh, pasukan arab banyak mengambil pelajaran dari cara-cara teknik bertempur kemudian mereka memadukannya dengan system dan teknik pertahanan yang selama itu mereka miliki, dengan perpaduan system pertahanan ini akhirnya kekuatan pertahanan dan militer Dinasti Bani Umayyah mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat baik dengan kemajuan-kemajuan dalam system ini akhirnya para penguasa dinasti Bani Umayyah mampu melebarkan sayap kekuasaannya hingga ke Eropa.
Secara garis besar formasi kekuatan tentara Bani Umayyah terdiri dari pasukan berkuda, pasukan pejalan kaki dan angkatan laut.
7.  Ilmu pengetahuan
     Pada masa dinasti ini, tepatnya pada paroh terakhir dinasti Umayyah, cabang- cabang ilmu baru yang sebelumnya belum pernah diajarkan dalam dunia islam mulai diajarkan seperti, tata bahasa, sejarah, geografi dan lain-lain. Pada masa Umayyah, ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua macam, yaitu :
  1. Al-Adaabul Hadits (ilmu-ilmu baru), yang meliputi : Al-ulumul Islamiyah (ilmu al-Qur’an, Hadist, Fiqh, al-Ulumul Lisaniyah, At-Tarikh dan al-Jughrafi),
  2. Al-Ulumul Dakhiliyah (ilmu yang diperlukan untuk kemajuan pengetahun) yakni filologi dan leksikografi mendapatkan perhatian oleh banyak orang ( Pertumbuhan Dan Perkembangan Budaya Arab Pada Masa Dinasti Umayyah,Fadli l Munawwar Manshur, majalah Humaniora Volum VI )
            Selain ilmu tafsir, ilmu hadist juga mendapatkan perhatian serius. Khalifah Umar ibn Abdul Aziz yang memerintah hanya dua tahun 717-720 M pernah mengirim surat kepada Abu Bakar ibn Amir bin Ham dan kepada ulama yang lain untuk menuliskan dan mengumpulkan hadist- hadist, namun hingga akhir pemerintahannya hal itu tidak terlaksana. Sungguhpun demikian pemerintahan Umar ibn Aziz telah melahirkan metode pendidikan alternative, yakni para ulama mencari hadist ke berbagai tempat dan orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal metodeRihlah. Pada masa dinasti inilah, kitab tentang ilmu hadist sudah mulai dikarang oleh para ulama muslim. Beberapa ulama hadist yang terkenal pada masa itu, antara lain : Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidilah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhri, Ibnu Abi Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami al-Makky, Al-Auza’i Abdurrahman bin Amr, Hasan Basri as-Sya’bi.( 14http://muhlis.files.wordpress.com.)
      Dibidang fiqh secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu aliran ahli al-Ra’y dan aliran al hadist, kelompok aliran pertama ini mengembangkan hukum Islam dengan menggunakan analogi atau Qiyas, sedangkan aliran yang kedua lebih berpegang pada dalil-dalil, bahkan aliran ini tidak akan memberikan fatwa jika tidak ada ayat Al Quran dan hadits yang menerangkannya. Nampaknya disiplin ilmu fiqh menunjukkanperkembangan yang sangat berarti. Periode ini telah melahirkan sejumlah mujtahid fiqh. Terbukti ketika akhir masa Umayyah telah lahir tokoh mazhab yakni Imam Abu Hanifah di Irak dan Imam Malik Ibn Anas di Madinah, sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal lahir pada masa Abbasyiyah. (  Munawar Chalil, Empat Biografi Imam Mazhab, Jakarta, Bulan Bintang, 1989, hlm. 23 )

E. Penyebab Keruntuhan Dinasti Umayyah I

Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti bani Umayyah menjadi
lemah, yaitu :
  1. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
  2. Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi’ah (para pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3.    Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
4.    Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Disamping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5.    Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al- Abbas ibn Abd Al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah, dan kaum mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.
6.    Kaum Mawali yang tidak mendapatkan posisi strategis di pemerintahan turut menggerogoti kepemimpinan dinasti Mu'awiyah
7.    Sikap antipati Ulama terhadap kehidupan mewah keluarga kerajaan HODGSON, Marshall G.S.; THE VENTURE OF ISLAM. hlm. 53 )