A.
Pendahuluan
Pada
saat ini banyak masyarakat yang menginginkan suatu perubahan dalam semua aspek
kehidupan, yakni kehidupan yang memiliki suatu komunitas kemandirian aktifitas
warga masyarakatnya, yang berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat
istiadat dan agama. Dengan mewujudkan dan memperlakukan nilai-nilai keadilan,
kesetaraan, penegakan hukum, kemajemukan(pluralisme) serta perlindungan
terhadap kaum minoritas.
Kondisi kehidupan seperti ini terlihat dalam konsep
masyarakat madani yang ada pada zaman Rosululloh. Hal ini juga merupakan sebuah
tuntutan dalam Al-Qur’an kepada manusia, untuk memikirkan merekonstruksi suatu
masyarakat ideal berdasarkan petunjuk Al-Qur’an. Sebuah isyaroh Al-Qur’an mengenai
masyarakat madani terdapat dalam surat Al Maidah: 48.
Konsep masyarakat madani merupakan konsep yang bersifat
universal, sehingga perlu adaptasi dan disosialisasikan apabila konsep
ini akan diwujudkan.Hal ini terjadi karena konsep masyarakat madani memiliki
latar belakang sosial budaya yang berbeda. Apabila konsep ini akan
diaktualisasikan maka diperlukan suatu perubahan kehidupan. Langkah yang
kontinyu dan sistematis yang dapat merubah paradigma kebiasaan dan pola hidup
masyarakat, untuk itu diperlukan berbagai terobosan dan penyusunan konsep serta
paradigma baru dalam menghadapi tuntutan baru.
Konsep masyarakat madani merupakan tuntutan
baru yang memerlukan berbagai torobosan di dalam berpikir,
penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan. Dengan kata lain, dalam menghadapi perubahan masyarakat dan zaman, “diperlukan
suatu paradigma baru di dalam menghadapi
tuntutan-tuntutan yang baru, demikian
kata filsuf Kuhn. Karena menurut Kuhn, apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi
dengan menggunakan paradigma lama, maka
segala
usaha
yang
dijalankan akan
memenuhi kegagalan".
Sektor pendidikan memiliki peran yang strategis dalam
membangun masyarakat madani. Pendidikan senantiasa berusaha untuk menjawab
kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat. Oleh karena itu peran
pendidikan sangat diperlukan untuk mempersiapkan individu dan masyarakat,
sehingga memiliki kemampuan dan motivasi serta berpartisipasi secara aktif
dalam meng aktualisasikan masyarakat madani.
Terobosan pemikiran kembali konsep dasar pembaharuan
pendidikan Islam menuju masyarakat
madani sangat diperlukan, karena "pendidikan sarana terbaik yang
didisain untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus
tidak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang dalam
pendidikan mereka atau tidak menyadari
adanya perkembangan-perkembangan
disetiap cabang pengetahuan manusia (Conference Book, London,
1978:16-17). Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, maka masalah yang perlu dicermati
dalam pembahasan ini adalah bagaimanakah pendidikan Islam didesain
menuju masyarakat madani
Indonesia.
Berangkat dari sinilah penilis akan megkaji permasalahan ini
dengan rumusan sebagai berikut:
- Bagaimana konsep masyarakat madani ?
2. Bagaimana konsep pendidikan islam
dalam masyarakat madani ?
B.
Pembahasan
1. Konsep Masyarakat Madani
Terminologi masyarakat madani pertama kali dipopulerkan oleh
Mohammad An-Nuqaib Al-Attas, yaitu Mujtamak madani yang secara etimologi
mempunyai dua arti: pertama, masyarakat kota. Kedua masyarakat yang beradap
(masyarakat tamaddun). Dalam bahasa Inggris dikenal dengan civilty atau civilation,
dalam makna ini masyarakat madani dapat berarti dengan Civil Society yaitu
masyarakat yang menjunjung peradaban.( Barnadib,1998:14)
Istilah civil society pertama
kali dikemukakan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah societies civilis,
namun istilah ini mengalami perkembangan
pengertian. Kalau Cicero memahaminya
identik dengan negara, maka kini dipahami sebagai kemandirian
aktivitas warga masyarakat madani sebagai "area tempat berbagai gerakan sosial"
(seperti himpunan ketetanggaan, kelompok wanita, kelompok
keagamaan, dan kelompk intelektual) serta organisasi sipil dari semua kelas (seperti ahli hukum, wartawan, serikat
buruh dan usahawan) berusaha
menyatakan diri mereka dalam suatu himpunan, sehingga mereka dapat mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukkan pelbagai kepentingan
mereka. Secara ideal masyarakat madani ini tidak hanya sekedar terwujudnya
kemandirian masyarakat berhadapan dengan negara, melainkan juga terwujudnya nilai-
nilai tertentu dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan kemajemukan (pluralisme) (Masykuri Abdillah,
1999:4).
Hal di atas bukan berarti antara civil society dan
masyarkat madani memiliki makna yang sama karena civil society merupakan perkembangan
pemikiran yang ada di dunia Barat, yang tentu berbeda dengan budaya sosial
masyarakat Islam. Dalam perspektif Islam social society lebih mengacu kepada
penciptaan peradaban. Berkaitan mengenai makna At Tamaddun yang berarti
peradapan dengan Al-Madinah yang berati kota,maka civil of society
diterjemahkan sebagai masyarakat madani yang mengandung tiga hal yaitu: agama
yang merupakan sumbernya dan peradapan adalah prosesnya serta masyarakat kota
adalah hasilnya (Wibowo,1990:59)
Kata madani sepintas orang mendengar
asosiasinya dengan kata Madinah,
memang demikian karena kata Madani
berasal dari dan terjalin erat secara etimologi dan terminologi dengan Madinah
yang kemudian menjadi ibukota pertama
pemerintahan Muslim. Maka, "Kalangan pemikir muslim mengartikan
civil society
dengan
cara
memberi atribut keislaman madani (attributive dari kata al-Madani). Oleh karena itu, civil
society dipandang dengan masyarakat
madani yang pada masyarakat idial di (kota) Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad
SAW. Dalam masyarakat tersebut Nabi berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan hukum, jaminan
kesejahteraan bagi semua warga, serta perlindungan terhadap kelompok minoritas. Dengan begitu, kalangan pemikir Muslim menganggap
masyarakat (kota) Madinah sebagai prototype masyarakat ideal produk Islam yang dapat dipersandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society"(Thoha Hamim, 1999:4).
Kemajemukan masyarakat Madinah mengakibatkan munculnya
permasalahan sosial yang harus diantisipasi dengan baik pada saat itu .
Oleh karena Nabi Muhammad bersama penduduk Madinah meletakkan dasar
masyarakat Madinah dengan menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu
dokumen yang dikenal dengan piagam Madinah. Hal tersebut diangap sebagai
konstitusi tertulis yang pertama dalam sejarah manusia.
Istitusi piagam Madinah yang berjumlah 47 pasal secara
formal mengatur hubungan sosial antara komponen masyarakat dari sesama muslim
dan antar komunitas muslim dengan non muslim. Di dalamnya juga terdapat nilai
dasar yang tertuang sebagai fundamental dalam mendirikan dan membangun negara
Madinah yaitu prinsip kesederajatan dan keadilan. Hal ini mencakup semua aspek
baik politik, ekonomi, maupun hukum. Dan yang kedua adalah insklusivisme
(keterbukaan) konsekwensi dari kemanusiaan yang merupakan suatu pandangan
secara positif dan optimis dalam memandang manusia yang pada dasarnya baik.
Kedua prinsip ini menjadi landasan ideal dan operasional dalam menjalin
hubungan masyarakat yang mencakup semua aspek kehidupan.(Ahatta,2001:181)
Sedangkan menurut, Komaruddin Hidayat,
dalam wacana keislaman
di Indonesia, adalah Nurcholish
Madjid yang menggelindingkan
istilah "masyarakat madani" ini, yang spirit serta visinya terbakukan dalam nama yayasan Paramadinah
(terdiri dari kata "para" dan "madinah", dan atau "parama" dan "dina"). Maka, secara "semantik" artinya kira-kira ialah, sebuah
agama (dina) yang excellent
(paramount) yang misinya ialah untuk membangun sebuah peradaban (madani)
(Kamaruddin Hidayat, 1999:267-268).
Menurut Komaruddin Hidayat, bagi kalangan intelektual Muslim kedua istilah (masyarakat agama dan masyarakat madani) memilki akar normatif dan kesejarahan yang
sama, yaitu sebuah masyarakat yang dilandasi norma-norma keagamaan sebagaimana yang diwujudkan Muhammad SAW di Madinah, yang berarti "kota
peradaban", yang semula
kota itu bernama
Yathrib ke Madinah
difahami oleh umat
Islam sebagai sebuah manifesto konseptual mengenai upaya Rasulullah
Muhammad untuk mewujudkan sebuah masyarakat Madani,
yang diperhadapkan dengan masyarakat Badawi dan Nomad (Kamaruddin Hidayat, 1999:267). Untuk kondisi Indonesia sekarang, kata Madani dapat diperhadapkan
dengan istilah masyarakat Modern.
Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa, bentuk masyarakat madani adalah suatu komunitas masyarakat yang
memiliki
"kemandirian aktivitas warga masyarakatnya" yang berkembang sesuai dengan potensi
budaya, adat istiadat, dan agama, dengan mewujudkan dan memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan (persamaan), penegakan hukum, jaminan kesejahteraan, kebebasan, kemajemukan
(pluralisme), dan perlindungan terhadap kaum minoritas.
Dengan demikian, masyarakat
madani merupakan
suatu masyarakat ideal yang dicita-citakan dan akan diwujudkan di
bumi Indonesia, yang masyarakatnya sangat
plural.
Dari uraian di atas, maka
sangat
perlu untuk mengetahui ciri masyarakat tersebut. Antonio Rosmini,
dalam “The Philosophy of Right, Rights
in Civil Society” (1996: 28-50) yang dikutip Mufid, menyebutkan pada masyarakat madani terdapat sepuluh ciri yang menjadi karakteristik masyarakat tersebut, yaitu:
Universalitas, supermasi, keabadian, dan pemerataan kekuatan (prevalence of force) adalah empat ciri
yang pertama. Ciri yang kelima,
ditandai dengan "kebaikan dari dan untuk bersama".
Ciri ini bisa terwujud jika setiap anggota
masyarakat memiliki akses pemerataan dalam memanfaatkan
kesempatan (the tendency to equalize
the share of utility). Keenam, jika masyarakat madani "ditujukan untuk
meraih
kebajikan umum"
(the common
good), kujuan akhir
memang kebajikan publik (the public
good). Ketujuh, sebagai "perimbangan
kebijakan umum", masyarakat madani juga memperhatikan kebijakan perorangan dengan cara memberikan alokasi kesempatan
kepada semua anggotanya meraih
kebajikan itu. Kedelapan, masyarakat madani, memerlukan "piranti eksternal" untuk mewujudkan tujuannya. Piranti eksternal itu adalah masyarakat
eksternal. Kesembilan, masyarakat madani bukanlah sebuah kekuatan yang berorientasi
pada keuntungan (seigniorial
or
profit).
Masyarakat
madani
lebih
merupakan
kekuatan yang justru
memberi manfaat (a beneficial power). Kesepuluh, kendati masyarakat madani memberi
kesempatan yang sama dan merata
kepada setiap warganya, tak berarti bahwa ia harus
seragam, sama dan sebangun serta homogin (Mufid,
1999:213).
Lebih lanjut, menurut Mufid, menyatakan bahwa
masyarakat madani terdiri dari
berbagai warga beraneka "warna", bakat
dan
potensi. Karena itulah, masyarakar madani di sebut sebagai masyarakat
"multi-kuota" (a multi quota society). Maka, secara
umum sepuluh ciri tersebut sangat idial, sehingga mengesankan seolah tak ada masyarakat seideal itu. Kalau ada, yaitu masyarakat muslim
yang langsung dipimpin oleh Nabi SAW yang relatif memenuhi syarat
tersebut. Memang, masyarakat seideal masyarakat “madinah” telah diisyaratkan
oleh Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya, "tak ada satupun masyarakat di dunia ini yang sebaik
masyarakat atau sebaik-baik masa adalah masaku" (ahsanul qurun qarni) - terlepas dari status sahih dan tidaknya sabda ini, ataupun siapa periwayatnya (Mufid,
1999:213-214). Diakui bahwa
masyarakat Madinah yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW merupakan prototype masyarakat idial. Maka, prototype
masyarakat madani tersebut, pada
era reformasi ini,
nampaknya akan upayakan untuk diwujudkan
di
Indonesia atau dengan kata lain akan
ditiru dalam wacana masyarakat Indonesia yang sangat pluralis.
2. Pendidikan Islam
Sebelum membahas tentang pengertian
pendidikan Islam, terlebih dahulu membahas apa itu pendidikan? Menurut M.J. Langeveld ; "Pendidikan merupakan upaya manusia dewasa membimbing yang belum kepada kedewasaan (Kartini
Kartono,1997:11). Ahmad D.Marimba, merumuskan pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara
sadar oleh sipendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani siterdidik
menuju terbentuknya keperibadian yang utama (Ahmad
D. Marimba, 1978:20).
Demikian dua pengertian pendidikan
dari sekian banyak pengertian yang diketahui. Dalam Undang-Undang Sistem
Pendidikan
Nasional Nomor : 2 Tahun 1989,
"pendidikan
dirumuskan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta
didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi perannya di masa yang akang datang. Sedangkan, "pendidikan dalam
pengertian yang luas adalah meliputi
perbuatan atau semua usaha generasi tua untuk mengalihkan (melimpahkan) pengetahuannya, pengalamannya, kecakapan serta keterampilannya
kepada generasi muda, sebagai
usaha untuk menyiapkan
mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya, baik jasmaniah
maupun rohaniah (Zuhairin, 1985:2).
Para ahli Filsafat
Pendidikan, menyatakan bahwa dalam
merumuskan pengertian
pendidikan sebenarnya sangat tergantung
kepada pandangan terhadap manusia; hakikat, sifat-sifat atau karakteristik dan tujuan
hidup manusia itu sendiri. Perumusan
pendidikan bergantung kepada pandangan
hidupnya, "apakah manusia dilihat sebagai kesatuan badan dan jasmani; badan, jiwa dan roh, atau jasmani dan rohani? Apakah
manusia pada hakekatnya dianggap memiliki kemampuan bawaan (innate) yang menentukan perkembangannya
dalam
lingkungannya, atau lingkungannyalah yang menentukan (domain) dalam
perkembangan manusia? Bagimanakah
kedudukan individu dalam masyarakat?
Apakah tujuan hidup manusia? Apakah manusia dianggap hanya hidup sekali di dunia ini, ataukah hidup lagi di hari kemudian
(akhirat)? Demikian beberapa pertanyaan filosofis" yang diajukan.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas
,
memerlukan
jawaban yang menentukan pandangan terhadap
hakekat dan tujuan pendidikan, dan dari sini juga sebagai pangkal perbedaan rumusan
pendidikan atau timbulnya aliran-aliran
pendidikan
seperti; pendidikan Islam,
Kristen, Liberal, progresif atau
pragmatis, komunis,
demokratis, dan lain-lain. Dengan demikian,
terdapat keaneka ragaman pendangan
tentang pendidikan. Tetapi, "dalam keanekaragaman
pandangan tentang pendidikan
terdapat titik-titik persamaan tentang pengertian pendidikan, yaitu pendidikan dilihat
sebagai suatu proses; karena
dengan proses itu seseorang (dewasa)
secara sengaja mengarahkan pertumbuhan atau perkembangan seseorang (yang belum dewasa).
Proses adalah kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang sesuai dengan
nilai- nilai yang merupakan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
tersebut di atas. Maka,
dengan pengertian atau definisi itu, kegiatan atau proses
pendidikan hanya berlaku pada manusia tidak pada hewan" (Anwar Jasin, 1985:2).
Dari uraian di atas, timbul pertanyaan
apakah Pendidikan Islam itu? Pendidikan Islam adalah suatu pendidikan
yang melatih perasaan
murid-murid dengan cara begitu
rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan
mereka terhadap segala jenis
pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spritual dan
sangat sadar akan nilai etis Islam (Syed
Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf,
1986:2), atau menurut Abdurrahman an-Nahlawi, "pendidikan Islam mengantarkan manusia
pada perilaku dan perbuatan
manusia yang berpedoman pada syariat Allah (Abdurrahman an- Nahlawi, 1995:26).
Dari pandangan ini, dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam bukan sekedar "transper of knowledge" ataupun "transper of training", ....tetapi lebih merupakan
suatu sistem yang ditata di atas pondasi “keimanan” dan “kesalehan”, yaitu suatu sistem yang terkait secara langsung
dengan Tuhan (Roihan
Achwan, 1991:50). Dengan
demikian, dapat dikatakan pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan
dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Maka sosok
pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang membawa manusia
kearah kebahagian dunia dan akhirat melalui ilmu dan ibadah. Karena pendidikan Islam membawa manusia
untuk kebahagian dunia dan akhirat,
maka yang harus diperhatikan
adalah "nilai-nilai
Islam tentang manusia;
hakekat dan sifat-sifatnya,
misi dan tujuan hidupnya di dunia ini dan akhirat nanti, hak dan kewajibannya sebagai individu dan anggota masyarakat. Semua ini dapat kita jumpai dalam al-Qur'an
dan Hadits (Anwar Jasin, 1985:2).
Jadi, dapat dikatakan
bahwa "konsepsi pendidikan model Islam, tidak hanya
melihat pendidikan itu sebagai upaya "mencerdaskan"
semata (pendidikan intelek,
kecerdasan), melainkan sejalan dengan konsep Islam tentang manusia dan hakekat eksistensinya. ...Maka,..pendidikan
Islam sebagai suatu pranata
sosial, juga sangat
terkait dengan pandangan Islam tentang hakekat keberadaan (eksistensi) manusia. Oleh karena itu, pendidikan Islam juga berupaya
untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran bahwa manusia itu sama di depan Allah dan perbedaanya adalah terletak pada kadar ketaqwaan masing-masing
manusia, sebagai bentuk perbedaan
secara kualitatif" (M.Rusli
Karim, 1991:29-32).
Pendidikan berupaya untuk menumbuhkan
pemahaman dan kesadaran pada manusia, maka sangat urgen sekali untuk memperhatikan konsep atau pandangan Islam tentang manusia sebagai makhluk yang diproses kearah kebahagian dunia dan akhirat, maka pandangan
Islam tentang manusia antara
lain: Pertama, konsep Islam tentang manusia, khsusunya anak, sebagai subyek didik,
yaitu sesuai dengan
Hadits Rasulullah, bahwa “anak manusia” dilahirkan dalam fitrah atau dengan "potensi" tertentu (Anwar Jasin, 1985:2).
Dalam
al-Qur'an, dikatakan
"tegakkan dirimu
pada
agama
dengan tulus dan mantap,
agama yang cocok dengan fitrah manusia
yang digariskan oleh Allah. Tak ada perubahan
pada ketetapan-Nya.....(ar-Rum : 30). Dengan demikian,
manusia pada mulanya dilahirkan dengan
"membawa potensi" yang perlu
dikembangkan dalam dan oleh lingkungannya. Pandangan ini, "berbeda dengan teori
tabularasa yang menganggap anak
menerima "secara pasif" pengaruh
lingkungannya, sedangkan konsep fitrah mengandung "potensi bawaan" aktif (innate patentials, innate tendencies) yang telah di
berikan kepada setiap
manusia oleh Allah (Anwar Jasin,
1985:3). Bahkan dalam al-Qur'an, sebenarnya
sebelum manusia dilahirkan telah
mengadakan "transaksi"
atau "perjanjian" dengan Allah yaitu mengakui
keesaan Tuhan, firman Allah surat
al-A'raf : 172, "Ingatlah, ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan
Adam dari
sulbi
mereka dan menyuruh agar mereka
bersaksi
atas
diri
sendiri;
"Bukankah Aku Tuhanmu?" firman Allah.
Mereka menjawab; "ya
kami bersaksi" yang demikian agar kamu tidak berkata pada hari kiamat kelak, "kami tidak mengetahui hal
ini" (Zaini Dahlan, 1998:304). Apabila kita memperhatikan ayat ini, memberi
gambaran
bahwa setiap anak yang lahir telah membawa "potensi keimanan" terhadap Allah atau
disebut dengan "tauhid". Sedangakan potensi bawaan yang lain misalnya
potensi fisik dan intelegensi atau
kecerdasan
akal dengan segala kemungkinan dan keterbatasannya.
Selain itu, dalam
al-Qur'an banyak dijumpai
ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat hakiki manusia yang mempunyai implikasi baik terhadap tujuan maupun cara pengarahan perkembangannya. Misalnya saja: tentang
tanggung
jawab,
bahwa manusia diciptakan tidak sia-sia, tetapi juga potensi untuk bertanggung
jawab atas perbuatannya dan sesuai dengan
tingkat kemampuan daya pikul seseorang menurut
kodrat atau
fitrah-nya (pada al-Mu'minun:115
dan
al-Baqrah:286).
Selain
itu
juga
manusia pada
hakekat
dan
menurut
kejadiannya
bersedia dan sanggup
memikul
amanah (pada al-Ahzab : 72). Di samping itu, hal yang juga penting implikasinya
bagi pendidikan adalah tanggung jawab yang ada pada manusia bersifat pribadi, artinya
tidaklah seseorang dapat memikul beban orang lain, beban itu dipikul sendiri tanpa melibatkan orang lain (pada Faathir:18).
Sifat lain yang ada pada manusia adalah manusia diberi oleh Allah kemampuan
al-bayan
(fasih perkataan
- kesadaran nurani)
yaitu daya untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya melalui kemampuan berkomunikasi dengan
bahasa
yang
baik
(pada
ar-Rahman:3-4). Pada hadits Rasulullah, "barang siapa ingin
mencapai kebahagian
dunia harus ditempuh dengan ilmu dan barang siapa yang mencari kebahagian
akhirat juga harus dengan ilmu, dan
barang untuk mencari keduanya
juga harus dengan ilmu". Dari pandangan ini, dapat dikatakan bahwa tugas dan fungsi pendidikan adalah mengarhkan dengan sengaja segala potensi yang ada pada seseorang
seoptimal mungkin sehingga ia berkembang
menjadi seorang muslim yang baik.
Kedua, peranan pendidikan atau pengarah
perkembanagan. Potensi manusia yang dibawah sejak dari lahir itu bukan hanya bisa dikembangkan dalam lingkungan
tetapi juga hanya bisa berkembang secara
terarah bila dengan bantuan
orang lain atau pendidik. Dengan demikian, tugas pendidik mengarahkan segala
potensi subyek
didik seoptimal mungkin agar ia dapat memikul
amanah dan tanggung jawabnya baik sebagai individu
maupun sebagai anggota
masyarakat, sesuai dengan profil manusia Muslim
yang baik. Ketiga, profil manusia Muslim. Profil
dasar
seorang
Muslim
yang
baik
adalah
ketaqwaan
kepada Allah. Dengan demikian, perkembangan
anak haruslah secara sengaja diarahkan
kepada pembentukan ketaqwaan. Keempat, metodologi pendidikan. Metodologi diartikan
sebagai prinsip-prinsip yang mendasari kegiatan mengarahkan
perkembangan seseorang, khususnya pada proses belajar-mengajar.
Maka, pandangan bahwa seseorang
dilahirkan dengan potensi bawaan tertentu
dan dengan itu ia mampu berkembang secara aktif dalam lingkungannya,
mempunyai implikasi bahwa proses
belajar-mengajar harus didasarkan pada prinsip belajar siswa aktif (student active learning) (Anwar Jasin,
1985:4-5).
Jadi, dari pandangan di atas, pendidikan menurut
Islam didasarkan
pada asumsi bahwa manusia dilahirkan
dalam
keadaan
fitrah
yaitu
dengan
membawa
"potensi
bawaan" seperti
potensi "keimanan",
potensi untuk memikul amanah dan tanggung jawab, potensi kecerdasan,
potensi fisik. Karena dengan potensi ini, manusia mampu berkembang secara aktif dan interaktif dengan lingkungannya dan dengan bantuan
orang lain atau pendidik secara sengaja agar menjadi
manusia muslim yang mampu menjadi
khalifah dan mengabdi kepada Allah.
Bersarkan uraian
di atas, pengertian pendidikan menurut
al-Qur'an dan hadits sangat luas, meliputi pengembangan
semua potensi bawaan manusia
yang merupakan rahmat Allah. Potensi-potensi itu harus dikembangkan menjadi
kenyataan berupa
keimanan dan akhlak serta kemampuan beramal dengan menguasai ilmu (dunia – akhirat)
dan keterampilan atau keahlian tertentu sehingga mampu memikul amanat dan tanggung jawab sebagai seorang khalifat dan
muslim yang bertaqwa. Tetapi pada realitasnya pendidikan Islam, sebagaimana
yang lazim dikenal di Indonesia ini, memiliki
pengertian yang agak sempit, yaitu program pendidikan Islam lebih banyak menyempit
ke-pelajaran fiqh ibadah terutama,
dan selama ini tidak pernah dipersoalkan apakah isi
program pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan telah sesuai benar dengan luasnya pengertian pendidikan
menurut al-Qur'an dan hadits (ajaran Islam).
3. Transformasi Pendidikan Islam
Pendidikan Islam di Indonesia
masih menghadapi berbagai masalah dalam
berbagai aspek. Upaya perbaikannya belum
dilakukan secara mendasar,
sehingga terkesan seadanya saja ....Selama ini, upaya pembaharuan pendidikan Islam secara mendasar, selalu dihambat oleh berbagai
masalah mulai dari persoalan dana sampai tenaga ahli. Padahal pendidikan Islam dewasa ini, dari segi apa saja terlihat goyah
terutama karena orientasi yang semakin
tidak jelas (Muslih Usa, 1991:11-13). Berdasarkan uraian ini, ada dua alasan pokok mengapa
konsep pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia untuk menuju masyarakat
madani sangat mendesak. (a)
konsep dan praktek pendidikan
Islam dirasakan terlalu sempit, artinya terlalu menekankan pada kepentingan akhirat,
sedangkan ajaran Islam menekankan
pada keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat.
Maka perlu pemikiran
kembali konsep pendidikan
Islam yang betul-betul didasarkan pada asumsi dasar tentang
manusia yang akan diproses menuju masyarakat
madani. (b) lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang dimiliki
sekarang ini, belum atau kurang mampu memenuhi kebutuhan umat Islam dalam menghadapi
tantangan dunia modern dan tantangan
masyarakat dan bangsa Indonesia
disegala bidang. Maka, untuk menghadapi
dan menuju masyarakat madani diperlukan konsep pendidikan Islam serta peran sertanya
secara mendasar dalam memberdayakan umat Islam,
Suatu usaha pembaharuan
pendidikan hanya bisa terarah dengan mantap
apabila didasarkan pada konsep dasar filsafat dan teori pendidikan yang mantap. Filsafat pendidikan yang mantap hanya dapat dikembangkan
di atas dasar asumsi- asumsi dasar
yang kokoh dan jelas tentang manusia
(hakekat) kejadiannya, potensi-
potensi bawaannya, tujuan hidup dan misinya di dunia ini baik sebagi individu maupun
sebagai anggota masyarakat, hubungan dengan lingkungan dan alam semesta dan
akhiratnya hubungan
dengan Maha Pencipta. Teori pendidikan
yang mantap hanya dapat dikembangkan atas dasar pertemuan antara penerapan atau pendekatan filsafat dan pendekatan emperis (Anwar Jasin, 1985:8), Sehubungan dengan
itu, konsep dasar pembaharuan pendidikan
Islam
adalah
perumusan konsep
filsafat dan
teoritis
pendidikan yang didasarkan
pada asumsi-asumsi dasar tentang manusia dan
hubungannya dengan lingkungan dan menurut
ajaran Islam.
Maka, dalam usaha pembaharuan
pendidikan Islam perlu dirumuskan secara jelas implikasi ayat-ayat al-Qur'an
dan hadits yang menyangkut
dengan "fitrah" atau potensi bawaan, misi dan tujuan hidup manusia. Karena rumusan tersebut akan menjadi konsep dasar filsafat pendidikan
Islam. Untuk itu, filsafat
atau segala asumsi dasar pendidikan Islam hanya dapat diterapkan secara baik jikalau kondisi-kondisi lingkungan ( sosial - kultural
) diperhatikan. Jadi,
apabila kita ingin mengadakan perubahan pendidikan Islam maka langkah awal yang harus dilakukan
adalah merumuskan konsep
dasar filosofis pendidikan yang sesuai
dengan ajaran Islam,
mengembangkan secara
empris prinsip-prinsip yang mendasari keterlaksanaannya dalam konteks lingkungan
(sosial – cultural) yang dalam hal ini adalah masyarakat
madani. Jadi, tanpa
kerangka dasar filosofis dan teoritis yang kuta, maka perubahan pendidikan
Islam tidak punya pondasi yang kuat dan juga tidak mempunyai arah yang pasti (Rangkuman
dari Anwar Jasin, 1985:8 –9).
Konsep dasar filsafat dan teoritis pendidikan Islam, harus ditempatkan dalam
konteks supra sistem masyarakat madani di mana pendidikan itu akan diterapkan. Apabila terlepas
dari konteks "masyarakat madani", maka pendidikan menjadi tidak
relevan dengan kebutuhan umat Islam pada kondisi masyarakat tersebut (masyarakat madani). Jadi, kebutuhan
umat yang amat mendesak
sekarang ini adalah mewujudkan dan meningkatan kualitas manusia
Muslim menuju masyarakat madani. Untuk itu umat Islam
di
Indonesia dipersiapkan dan harus dibebaskan dari
ketidaktahuannya (ignorance) akan kedudukan dan peranannya dalam kehidupan "masyarakat
madani" dalam konteks
kehidupan berbangsa
dan bernegara. Pendidikan Islam haruslah dapat meningkatkan mutu umatnya
dalam menuju "masyarakat madani". Kalau tidak umat
Islam akan ketinggalan dalam kehidupan "masyarakat madani" yaitu masyarakat ideal
yang dicita-citakan bangsa ini. Maka tantangan utama yang dihadapi umat Islam sekarang
adalah peningkatan mutu sumber insaninya
dalam menempatkan diri dan memainkan perannya dalam komunitas masyarakat madani dengan menguasai ilmu dan teknologi yang berkembang semakin pesat. Karena,
hanya mereka yang menguasai ilmu dan teknologi modern dapat mengolah
kekayaan alam yang telah diciptakan
Allah untuk manusia dan diamanatkan-Nya kepada manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini
untuk diolah bagi kesejahteraan umat manusia.
Maka masyarakat madani
yang
diprediski memiliki ciri
;
Universalitas, Supermasi, Keabadian,
Pemerataan
kekuatan, Kebaikan
dari
dan
untuk
bersama,
Meraih kebajikan umum, Perimbangan
kebijakan umum, Piranti eksternal, Bukan
berinteraksi pada keuntungan, dan Kesempatan yang sama dan merata kepada setiap
warganya. Atas dasar konsep ini,
maka konsep filsafat
dan teoritis pendidikan Islam dikembangkan sebagai prinsip-prinsip yang mendasari keterlaksanaannya dalam kontek lingkungan masyarakat madani tersebut, sehingga pendidikan relevan dengan kondisi
dan ciri sosial kultural
masyarakat tersebut.
Maka, untuk mengantisipasi perubahan menuju "masyarakat
madani", pendidikan Islam harus didisain untuk menjawab
perubahan tersebut. Oleh karena itu, usulan perubahan
sebagai berikut : (a) pendidikan harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan
jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama, karena,
dalam pandangan seorang muslim, ilmu pengetahuan
adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT, (b)
pendidikan menuju tercapainya sikap dan perilaku "toleransi", lapang dada dalam
berbagai hal dan bidang, terutama
toleran dalam perbedaan pendapat dan penafsiran
ajaran Islam, tanpa melepaskan pendapat atau prinsipnya yang diyakini, (c) pendidikan yang mampu menumbuhkan kemampuan untuk berswadaya dan mandiri
dalam kehidupan, (d) pendidikan yang menumbuhkan
ethos kerja, mempunyai aspirasi pada kerja, disiplin dan jujur (Suroyo,
1991:45-48), (e) pendidikan Islam harus didisain untuk
mampu menjawab tantangan masyarakat madani.
Dalam konteks ini juga perlu pemikiran
kembali tujuan dan fungsi lembaga-
lembaga pendidikan (Anwar Jasin, 1985:15) Islam yang ada. Memang diakui bahwa penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup mengemberikan, artinya
lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan
lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari
ilmu umum dan ilmu agama serta keterampilan. Tetapi pada kenyataannya
penyesuaian tersebut lebih merupakan
peniruan dengan tambal sulam atau dengan
kata lain mengadopsi model yang
telah dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum, artinya ada perasaan harga diri
bahwa apa yang dapat dilakukan
oleh lembaga-lembaga pendidikan umum dapat juga
dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan agama, sehingga akibatnya
beban kurikulum yang terlalu
banyak dan cukup berat dan bahkan terjadi tumpang
tindih.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam mengambil secara
utuh semua kurikulum (non-agama) dari kurikulum sekolah umum, kemudian tetap mempertahankan sejumlah program pendidikan agama, sehingga banyak
bahan pelajaran yang tidak dapat dicerna
oleh peserta didik secara
baik, sehingga produknya
(hasilnya) serba setengah-tengah atau tanggung baik
pada ilmu-ilmu umum maupun pada ilmu-ilmu
agama. Untuk itu, lembaga-lembaga pendidikan
Islam sebenarnya
mulai memikirkan kembali disain program pendidikan untuk menuju masyarakat
madani, dengan memperhatikan relevansinya
dengan bentuk atau kondisi serta ciri masyarakat madani.
Maka untuk menuju "masyarakat madani", lembaga-lembaga pendidikan Islam
harus memilih satu di antara
dua fungsi yaitu apakah
mendisain model pendidikan umum Islami yang handal
dan mampu bersaing secara kompotetif dengan lembaga pendidikan umum atau mengkhususkan pada disain pendidiank keagamaan yang handal dan mampu bersaing secara kompotetif, misalnya mempersiapkan
ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid
yang berkaliber nasional
dan dunia.
C. Penutup
Berdasarkan paparan
di atas, dapat disimpulakn sebagai berikut :
(1)
Menyarakat madani merupakan suatu ujud masyarakat yang memiliki kemandirian aktivitas dengan
ciri: universalitas, supermasi, keabadian, pemerataan kekuatan, kebaikan dari dan untuk bersama, meraih kebajikan umum,
piranti
eksternal, bukan
berinteraksi pada keuntungan, dan kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya. ciri
masyarakat ini merupakan masyarakat yang
ideal dalam kehidupan. Untuk Pemerintah pada
era reformasi ini, akan mengarakan semua potensi bangsa
berupa pendidikan, ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, militer,
kerah masyarakat madani yang dicita- citakan. (2) Konsep dasar pembaharuan pendidikan harus didasarkan pada asumsi- asumsi dasar tentang manusia meenurut
aajaran Islam, filsafat dan teori pendidikan
Islam yang dijabarkan dan dikembangkan berdasarkan asumsi-asumsi tentang manusia dan lingkungannya. Atau dengan kata lain pembaharuan pendidikan Islam
adalah filsafat dan teori pendidikan Islam yang sesuai dengan ajaran Islam, dan untuk
lingkungan ( sosial - kultural) yang dalam hal ini adalah masyarakat madani.
(3) Konsep dasar pendidikan Islam supaya relevan
dengan kepentingan umat Islam
dan relevan dengan disain masyarakat madani. Maka penerapan konsep dasar filsafat
dan teori pendidikan harus memperhatikan konteks supra sistem bagi kepentingan komunitas
"masyarakat madani" yang dicita-citakan bangsa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Jasin,
1985, Kerangka Dasar Pembaharuan
Pendidikan Islam : Tinjauan Filosofis, Jakarta. Conference Book, London, 1978.
Fathiyah
Hasan Sulaiman, Bahts fi 'L-Madzhab al-Tarbawy
'Inda 'L-Ghazaly, Maktabah Nadhlah, Mesir, 1964., Terj.,
Ahmad Hakim dan M.Imam Aziz, Konsep
Pendidikan al-Ghazali, P3M, Jakarta, Cet. I, 1986.
H.A.R. Tilar, 1998, Beberapa
Agenda Reformasi Pendidikan
Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia,
Magelang, Cet. I,.
Imam Barnadib,
1997, Filsafat Pendidikan Sistem & Metode, Penerbit Andi, Yogyakarta, Cet. Kesembilan,.
Komaruddin Hidayat,
1998,
Masyarakat
Agama
dan
Agenda
Penegakan Masyarakat Madani,
Makalah "Seminar Nasional dan Temu Alumni,
Program Pasca Sarjanan Universitas
Muhammadiyah Malang,
Tanggal, 25-26
September.
Masykuri Abdillah,
1999, Islam dan Masyarakat Madani, Koran Harian Kompas,
Sabtu, 27 Februari.
Muslim Usa (editor)1991, Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Tiara
Wacana, Yogyakarta, Cet. I,
M.Rusli Karim, 1991, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia, dalam Buku Pendidikan Islam di Indonesia
antara Citra dan Fakta,
Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana,
Yogya, Cet.Pertama.
Roihan Achwan, 1991, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, dlm.
Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Volume 1,
IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Soroyo, 1991, Antisipasi
Pendidikan Islam dan Perubahan
Sosial Menjangkau Tahun 2000, dalam Buku : Pendidikan Islam di
Indonesia antara Cita dan Fakta,
Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana,
Yogya.
Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, 1986, Crisis Muslim Education., Terj. Rahmani
Astuti, Krisis Pendidikan Islam, Risalah.
Zuhairini,
dkk, 1995, Filsafat Pendidikan
Islam, Bumi Aksara, Jakarta,
Cet. II,