Senin, 29 Oktober 2012
Komponen Dasar dan Dimensi Fitrah Sebagai Inner Potensial
Komponen
Dasar dan Dimensi Fitrah
Sebagai
Inner Potensial
I.
PENDAHULUAN
Membicarakan
manusia berarti membicarakan kompleksitas yang ada di dalam diri manusia itu
sendiri. Dr. Alexis Carrel (seorang peletak dasar-dasar humaniora di
Barat ) mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang misterius, karena derajat
keterpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan perhatiannya
yang demikian tinggi terhadap dunia yang ada luar dirinya.[1]
Pendapat ini menunjukkan tentang betapa sulitnya memahami manusia secara tuntas
dan menyeluruh. Sehingga setiap kali seseorang selesai memahami dari satu aspek
tentang manusia, maka muncul pula aspek yang lainnya.
Dalam
berbagai literature, khususnya dibidang filsafat dan antropologi dijumpai
berbagai pandangan para ahli tentang hakekat manusia. Sastraprateja, misalnya
mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang historis.[2]
Hakikat manusia itu sendiri adalah suatu sejarah, suatu peristiwa yang
semata-mata datum. Hakikat manusia hanya dilihat dalam perjalanan sejarahnya,
dalam sejarah perjalanan bangsa manusia. Saatraprateja lebih lanjut mengatakan,
bahwa apa yang kita peroleh dari pengamatan kita atas pengamatan manusia adalah
suatu rangkaian anthtropoligical constans, yaitu dorongan-dorongan dan
orientasi yang dimiliki manusia.
Toh demikian manusia merupakan makhluk yang
istimewa. Hal ini dikarenakan manusia dikaruniai akal sebagai keistimewaan
dibandingkan makhluk lainnya. Manusia merupakan makhluk mulia dari segenap
makhluk yang ada di alam raya ini. Allah telah membekali manusia dengan
berbegai keutamaan sebagai siri khas yang membedakan denngan makhluk yang lain.
Untuk mengetahui komponen yang ada dalam manusia, hal ini bisa dilihat
pengertian manusia dari tinjauan al qur’an.
Manusia disitilahkan dalam al qur’an dalam tiga
hal, yaitu al-basyir, al- insan, dan an-nas.[3]
Al-basyar dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk biologis yang
memiliki sagala sifat kemanusiaan dan keterbatasan, seperti makan, minum, seks,
kebahagiaan, dan lainnya. Adapun kata al-insan dapat diartikan
harmonis, lemah lembut, tampak , atau pelupa. Secara istilah al-insan
berarti adanya totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan ruhani.
Harmonisasi kedua aspek tersebut mengantarkan manusia sebagai mahluk Allah yang
unik dan istimewa. Hal ini akan terintegrasi dalam iman dan amalnya.
An-Nas menunjukkan pada eksistenti
manusia sebagai makhluk social secara keseluruhan Allah telah menciptakan
manusia dalam bentuk struktur yang sempurna. Hal ini bisa dilihat dari ciptaan
Allah yang lainnya. Penciptaan selain manusia hanya terdiri dari struktur
jasmani (fisiologi) saja. Kalaupun ada stuktur rohani seperti yang terdapat
pada hewan dan tumbuhan, tetapi tidak dikarunia akal sebagai sentral aktivitas
manusia. Manusia memiliki kedua struktur tersebut, jasmani dan rohani.
Dengan kedua struktur tersebut, maka manusia memiliki kesempatan untuk
mengembangkan kemampuan tersebut. Dalam dunia psikologi disebut dengan
potensialitas atau disposisi atau prepotence reflexes.[4]
Al Qur’an menegaskan bahwa manusia mempunyai
karakteristik yang unik. Atribut pertama yang dimiliki oleh manusia adalah
manusia dilengkapi fitrah yang di miliki oleh manusia. Manusia tidak
memiliki dosa waris turun-temurun karna pengusiran Adam dari surga. Manusia di
berikan amanat sebagai khalifah di muka bumi. Manusia khalifah Allah tidak
dibenarkan menyatakan kebenaran absolute yang bersifat lahiriah. Manusia harus
tunduk pada perintah Allah dan tidak di benarkan menggantian yang selain itu
yang bertentangan dengan perintah Allah tersebut.
Keistimewaan fitrah
inilah yang menarik banyak cendekiawan mengulasnya. Banyak persepsi
mengenai makna fitrah. Sehingga kadang melenceng dari konsep fitrah yang
sesuai dengan yang dimaksudkan dalam al Qurr’an dan hadis nabi. Sebagian
mereka mengartikan fitrah sebagai potensi beragama yang dibawa manusia semenjak
di dalam rahim ketika mengikat perjanjian dengan Tuhan, sebagian lainnya
mengartikan sebagai kemampuan-kemampuan jasmaniah dan rohaniah. Kendati
demikian perbedaan tersebut menuju kepada satu tujuan yaitu menciptakan seorang
muslim yang mampu mengemban tugas dan fungsinya sebagai ‘abd maupun sebagai
khalifah di muka bumi.
Selain itu
bagaimana fitrah manusia tersebuat menjadi modal sebagai inner potensial
semakin menarik untuk dibahas.
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Fitrah
Pengertian
fitrah sangat beragam. Keberagaman ini disebabkan oleh perbedaan pemilihan
sudut makna. Fitrah dapat dipahami secara etimologi, terminologi dan bahkan
makna konteks dalam pemahaman suatu ayat (nasabi). Makna etimologi
menggambarkan konsep dasar struktur kepribadian, makna terminologi
menggambarkan integritas hakekat struktur kepribadian, dan makna nasabi
menggambarkan aktivitas, natur, watak, kondisi dan dinamisme kepribadian.
Makna
secara etimologis mengungkap bahwa fitrah mempunyai dua pengertian. Pertama,
fitrah berarti al-insyiyaq atau al-syaqq
yang berarti al-inkisar (pecah atau belah). Arti
ini diambil dari lima ayat yang menyebut kata fitrah (dari 20 ayat yang
menyebut kata fitrah) yang obyeknya ditujukan pada langit. Kedua, Fitrah
berarti al-Khilqah,
al-ijad,
atau al-ibda’
yang berarti penciptaan. Arti kedua ini diambil dari 14 ayat yang enam di
antaranya berkaitan dengan penciptaan manusia, sedang sisanya berkaitan dengan
penciptaan langit dan bumi.[5]
Kedua
makna ini, sebenarnya saling melengkapi. Makna pecah atau belah kendati
digunakan untuk pemaknaan yang berkaitan dengan alam (langit dan bumi), namun
sebenarnya dapat dipergunakan untuk manusia. Hal ini mengingat bahwa manusia
adalah mikro kosmos dan alam adalah makro kosmos. Artinya, manusia adalah
miniatur dari jagad raya yang luas ini. Selain itu, juga mengingat proses
penciptaan manusia juga mengalami pro¬ses pengurangan kromosom melalui
pembelahan sel, maka makna pecah atau belah dapat juga dipakai dalam penciptaan
manusia.[6]
Sementara
tentang makna nasabi atau makna yang dipahami dari konteks ayat dan hadits, Makna-makna
tersebut ada sepuluh, yaitu:
Pertama,
fitrah berarti suci. Kesucian dalam pemaknaan ini lebih berorientasi pada
kesucian jiwa. Artinya, setiap manusia yang lahir membawa potensi suci. Suci
bukan berarti kosong sebagaimana dipahami John Locke atau Psikologi
Behavioristik, tetapi suci berarti bersihnya jiwa manusia dari dosa waris
ataupun dosa asal. Dengan potensi suci ini setiap manusia lahir dalam atribut
baik. Selanjutnya terserah bagaimana manusia mengolah dengan
mengaktualisa-sikannya atau malah mengotori kesuciannya.
Kedua,
fitrah berarti potensi ber-islam. Pemaknaan ini menunjukkan tujuan penciptaan
fitrah (konstitusi dan watak) manusia adalah agar mampu menerima Islam. Islam
merupakan isi asal atau watak konstitusi manusia yang pada gilirannya akan
melahirkan kebudayaan. Namun bila potensi ber-Islam tersebut tidak
teraktualisasikan sesuai dengan jalan yang digariskan oleh Pemberi potensi,
maka potensi ini berarti telah diingkari.
Ketiga,
Fitrah berarti mengakui ke-Esaan Allah SWT (tauhid Allah). Makna ini mempunyai
pengertian bahwa manusia secara potensial memiliki potensi bertauhid, atau
paling tidak, ia mempunyai kecenderungan untuk mengesakan Tuhan.
Keempat,
berarti kondisi selamat dan kontinuitas (istiqomah). Makna ini memberikan
pengertian bahwa fitrah tidak mengandung iman atau kufur. Fitrah hanya berarti
keselamatan dalam proses penciptaan, watak dan strukturnya. Iman atau kufur
akan muncul setelah mencapai akil baligh. Artinya, manusia dilahirkan dalam
keadaan membawa potensi untuk menemukan keimanan melalui pendengaran,
penglihatan dan hati nurani.
Kelima,
fitrah berarti ikhlas. Manusia lahir dengan membawa potensi sifat baik,
termasuk di dalamnya adalah ikhlas. Keikhlasan ini membuat seseorang mampu
melaksanakan kegiatan atau aktivitasnya dengan ketulusan dan kemurnian.
Keenam,
fitrah berarti kesanggupan atau predisposisi untuk menerima ke-benaran. Dari
pemaknaan ini berarti manusia lahir dengan membawa kesanggupan untuk mencari
kebenaran tujuan hidupnya.
Ketujuh,
fitrah berarti potensi dasar manusia atau perasaan untuk beribadah dan makritat
(mengenal) Allah SWT.
Kedelapan,
fitrah berarti ketetapan atau takdir asal man usia mengenai kebahagiaan dan
kesengsaraan. Artinya manusia berpotensi untuk menjadi orang yang baik atau
buruk, bahagaia atau celaka. Potensi baik dan buruk, bahagia atau celaka
menunggu aktualisasi dari pilihan manusia yang bersangkutan.
Kesembilan,
fitrah sebagai watak atau tabiat manusia. Pemaknaan ini berkaitan dengan daya
yang menggerakkan jasad manusia. Makna inilah yang lebih tepat untuk mengungkap
pembagian, natur dan aktivitas fitrah.
Kesepuluh,
fitrah berarti sitat-sitat Allah yang ditiupkan untuk setiap manusia sebelum
dilahirkan..[7]
Menurut Ibnu Taimiyah, dalam diri manusia
setidaknya terdapat tiga potensi (fitrah), yaitu:[8]
1.
Daya intelektual (quwwat al-‘aql),
yaitu potensi dasar yang memungkinkan manusia dapat membedakan nilai baik dan
buruk. Dengan daya intelektualnya, manusia dapat mengetahui dan meng-Esakan
Tuhannya.
2.
Daya ofensif (quwwat al-syahwat), yaitu
potensi dasar yang mampu menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan
bermanfaat bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara
serasi dan seimbang.
3.
Daya defensif (quwwat al-ghadhab) yaitu
potensi dasar yang dapat menghindarkan manusia dari segala perbuatan yang
membahayakan dirinya. Namun demikian, diantara ketiga potensi tersebut, di
samping agama – potensi akal menduduki posisi sentral sebagai alat kendali
(kontrol) dua potensi lainnya. Dengan demikian, akan teraktualisasikannya
seluruh potensi yang ada secara maksimal, sebagaimana yang disinyalir oleh
Allah dalam kitab dan ajaran-ajaranNya. Penginkaran dan pemalsuan manusia akan
posisi potensi yang dimilikinya itulah yang akan menyebabkannya melakukan
perbuatan amoral.
B.
Komponen
dasar Fitrah Manusia
Jika
kita perhatikan berbagai pandangan para ulama dan ilmuwan Islam yang telah
memberikan makna terhadap istilah “FITRAH” yang diangkat dari firman Allah dan
sabda Nabi bahwa fitrah adalah suatu kemampuan dasar berkembang manusia yang
dianugrahkan Allah kepadanya. Di dalamnya terkandung berbagai komponen
psikologi yang satu sama lain berkaitan dan saling menyempurnakan bagi hidup manusia.
Komponen-komponen fitrah tersebut adalah:
Komponen-komponen fitrah tersebut adalah:
1.
Kemampuan dasar untuk baragama Islam (ad-dinul
qayyimaah), di mana faktor iman merupakan intinya beragama manusia. Muhammad
‘Abduh, Ibnu Qayyim, Abu A’lah Al-Maududi, Sayyid Qutb berpendapat sama bahwa
fitrah mengandung kemampuan asli untuk beragama Islam, karena Islam adalah
agama fitrah atau identik dengan fitrah. Ali Fikry lebih menekankan pada
peranan heriditas (keturunan) dari bapak-ibu yang menentukan keberagamaan
anaknya. Faktor keturunan psikologi (heriditas kejiwaan) orang tua anak
merupakan salah satu aspek dari kemampuan dasar manusia itu.
2.
Mawahid (bakat) dan Qabiliyyat (tendensi atau
kecenderungan) yang mengacu kepada keimanan kepada Allah. Dengan demikian maka
“fitrah” mengandung komponen psikologi yang berupa keimanan tersebut. Karena
iman bagi seorang mukmin merupakan elan vitale (daya penggerak utama) dalam
dirinya yang memberi semangat untuk mencari kebenaran hakiki dari Allah.
Prof.
DR. Mohammad Fadhil Al-Djamaly, juga berpendapat bahwa Islam itu adalah Agama
yang mendorong manusia untuk mencari pembuktian melalui penelitian, berfikir
dan merenungkan ke arah iman yang benar.
3.
Naluri
dan kewahyuan (revilasi) bagaikan dua sisi dari uang logam; keduanya saling
terpadu dalam perkembangan manusia. Menurut Prof. DR. Hasan Langgulung, FITRAH
itu dapat dilihat dari dua segi yakni: Pertama, segi naluri sifat pembawaan
manusia atau sifat-sifat Tuhan yang menjadi potensi manusia sejak lahir, dan
yang Kedua, dapat dilihat dari segi wahyu yang diturunkan kepada Nabi-nabi-Nya.
Jadi potensi manusia dan agama wahyu merupakan satu hal yang nampak dalam dua
sisi; ibaratnya mata uang logam yang mempunyai dua sisi yang sama. Mata uang
itu kita ibaratkan fitrah
4.
Dilihat dari sisi ia adalah potensi dan sisi
lain adalah wahyu.
Prof. Langgulung memandang bahwa sifat-sifat Tuhan yang 99 macam (Asma Al-Husna) merupakan potensi yang masing-masing berdiri sendiri. Tetapi bila dikombinasikan akan timbul sifat-sifat atau potensi manusia yang jumlahnya berjuta-juta macamnya.
Prof. Langgulung memandang bahwa sifat-sifat Tuhan yang 99 macam (Asma Al-Husna) merupakan potensi yang masing-masing berdiri sendiri. Tetapi bila dikombinasikan akan timbul sifat-sifat atau potensi manusia yang jumlahnya berjuta-juta macamnya.
5.
Kemampuan dasar untuk beragama secara umum,
tidak hanya terbatas pada agama Islam. Dengan kemampuan manusia dapat dididik
menjadi agama Yahudi, Nasrani ataupun Majusi, namun tidak dapat dididik menjadi
atheist (anti Tuhan). Pendapat ini diikuti oleh banyak ulama Islam yang
berpaham ahli Mu’tazilah antara lain Ibnu Sina dan Ibnu Khaldun.
6.
Dalam fitrah tidak terdapat komponen psikologis
apapun, karena fitrah diartikan sebagai kondisi jiwa yang suci bersih yang
reseptif terbuka kepeda pengaruh eksternal, termasuk pendidikan. Kemampuan
untuk mengadakan reaksi atau responsi (jawaban) terhadap pengaruh dari luar
tidak terdapat di dalam fitrah. [9]
Pendapat
ini dikembangkan oleh para ulama ahli Sunnah Wal Jama’ah atau beberapa filosof
muslim antara lain: Al-Ghazaly.
Untuk lebih jelasnya berikut ini dikemukakan sebuah diagram tentang fitrah dan komponen-komponennya:
Untuk lebih jelasnya berikut ini dikemukakan sebuah diagram tentang fitrah dan komponen-komponennya:
Komponen komponen diatas menunjukan aspek-aspek
psikologis fitrah yang saling pengaruh mempengaruhi antara satu aspek terhadap
aspek lainnya. Aspek-aspek tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
- Fitrah adalah faktor kemampuan dasar perkembangan manusia yang terbawa sejak lahir yang berpusat pada potensi dasar untuk berkembang.
- Potensi dasar itu berkembang secara menyeluruh (integral) yang menggerakkan seluruh aspek-aspeknya yang secara mekanistis satu sama lain saling pengaruh mempengaruhi menuju ke arah tujuan tertentu.
- Aspek-aspek fitrah adalah merupakan komponen dasar yang bersifat dinamis, responsif terhadap lingkungan sekitar, termasuk pengaruh pendidikan.
Komponen-komponen
dasar tersebut meliputi :
- Bakat, suatu kemampuan pembawaan yang potensial mengacu kepada perkembangan kemampuan akademis (ilmiah) dan keahlian (profesional) dalam berbagai bidang kehidupan.
- Insting atau gharizah, adalah suatu kemampuan berbuat atau bertingkah laku dengan tanpa melalui proses belajar.
- Nafsu dan dorongan-dorongannya (drivers)
- Karakter atau watak tabiat manusia adalah merupakan kemampuan psikologis yang terbawa sejak kelahirannya.
- Hereditas atau keturunan adalah merupakan faktor kemampuan dasar yang mengandung ciri-ciri psikologis dan fisiologis yang diturunkan/diwariskan oleh orang tua baik dalam garis yang dekat maupun yang telah jauh.
- Intuisi adalah kemampuan psikologis manusia untuk menerima ilham tuhan.[10]
C.
Dimensi
Fitrah Manusia
Dimensi-dimensi
fitrah yang dimaksud di sini adalah aspek-aspek yang terdapat dalam fitrah
manusia. Dimensi fitrah menjadi tiga bagian, yaitu fitrah fisik yang disebut
dengan Fitrah Jismiah atau Jasadiah,
fitrah psikis yang disebut Fitrah Ruhaniah dan fitrah psikopisik yang disebut
dengan Fitrah Natsaniah.[11]
Masing-masing fitrah ini memiliki natur, potensi, hukum, dan ciri-ciri sendiri.
Fitrah
Jismiah adalah citra penciptaan fisik manusia yang terdiri dari struktur
organisme fisik. Organisme fisik manusia lebih sempurna dibanding dengan
organisme fisik makhluk-makhluk yang lain. Komponen fisik manusia hanya
memiliki daya inderawi yang empirik dan tidak memiliki daya batini, kecuali
apabila indera tersebut dihubungkan dengan ruh manusia. Apabila indera ini
telah terhubungkan dengan ruh manusia maka terjadilah apa yang disebut dengan
Daya Nafsiah. Dengan daya nafsiah ini maka semua komponen fisik tersebut akan
mampu mencapai daya batini, seperti melihat sesuatu lalu dipersepsi dan
dihayati sehingga menimbulkan rasa indah atau buruk, rasional dan irasional dan
sebagainya.
Dimensi
Fitrah Ruhaniah adalah citra penciptaan manusia yang mempunyai komponen,
potensi, fungsi, sifat, prinsip kerja, dinamisme dan mekanisme tersendiri untuk
mewujudkan hakekat manusia yang sebenarnya. Fitrah Ruhaniah dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu fitrah ruhaniah yang berhubungan dengan zatnya
sendiri dan fitrah ruhaniah yang berhubungan dengan badan jasmani. Fitrah
ruhaniah yang pertama disebut dengan fitrah al-munazzalah, sedang fitrah yang
kedua disebut dengan fitrah gharizat, atau disebut dengan
fitrah nafsaniah.
Fitrah al-munazzalah
Merupakan
potensi luar manusia. Adapun fitrah ini adalah wahu ilahi yang
diturunkan Allah untuk membimbing dan mengarahkan fitrah al gharizat
berkembang sesuai dengan fitrahnya yang hanif. Semakin tinggi interaksi antara
kedua fitrah tersebut, maka akan semakin tinggi pula kualitas manusia.
Fitrah al-munazzalah
adalah potensi ruhani yang diturunkan atau diberikan secara langsung dari Allah
kepada jiwa manusia. la tidak dapat berubah, sebab jika potensi ini berubah, maka
berubah pula eksistensi manusia. Fitrah al-munazzalah ini merupakan amanat
Allah yang dititipkan kepada manusia.[12]
Selanjutnya,
fitrah al-gharizat
merupakan potensi dalam diri manusia yang dibawanya sejak lahir. Bentuk fitrah
ini berupa nafsu, akal, dan hati nurani. Hal ini adalah bagian fitrah ruhani
yang berhubungan dengan fitrah jasadi. Fitrah al-gharizat
inilah yang disebut dengan fitrah nafsaniah yang merupakan dimensi
fitrah yang ketiga.
Fitrah nafsaniah
adalah merupakan citra penciptaan psikofisik manusia. Pada fitrah inilah
komponen jasad dan ruh bergabung. Fitrah nafsaniah ini secara inheren telah
ada sejak manusia siap menerimanya, yaitu usia empat bulan dalam kandungan. Fitrah
nafsaniah
ini merupakan citra kepribadian manusia, yang aktualisasinya sangat dipengaruhi
oleh beberapa faktor, seperti usia, pengalaman, pendidikan, pengetahuan,
lingkungan dan sebagainya. Fitrah nafsaniah ini memiliki potensi gharizah,
yaitu potensi insting, tabiat, perangai, kejadian laten, ciptaan dan sifat
bawaan.
Fitrah nafsaniah
ini adalah merupakan alam yang tak terukur besarnya. la adalah
keseluruhan semesta, karena ia merupakan miniatur alam semesta. Segala apa yang
ada di alam semesta tercermin di dalam fitrah nafsaniah ini. Demikian juga, apa
saja yang terdapat dalam fitrah ini juga tergambar di alam semesta. Oleh karena
itu, barangsiapa yang menguasai jiwanya pasti menguasai alam semesta.
Dari
penjelasan dimensi dimensi fitrah tersebut di atas bashwa fitrah bersifat
potensial dan perlu ada upaya – upaya tertentu untuk mengaktualisasinya.
D.
Fitrah
Sebagai Inner Potential
Inner
potential dalam istilah maslow disebut kodrat batin yang
bersifat pembawaan, intrinsik, tidak jahat, dan cenderung baik
sementara dalam bahasa psikologi sufistik, dimaknai fitrah rûhaniyyah atau inner
potential yang memiliki daya positif. Inner potential ini, bila
dikembangkan terus melalui jalan tashfiyat al nafs (penjernihan jiwa dari
hal-hal yang tercela dan pengembangan melalui berbagai perbuatan terpuji) maka
secara psikologis akan berpengaruh positif terhadap kesalihan tingkah
laku. dengan demikian, inner potential sebagai potensi ruhaniah memiliki
hubungan fungsional dengan tingkah laku psikologis yang dimunculkan. Tesis
tersebut dibangun atas dasar sebuah
pandangan yang menyatakan, bahwa “suasana batin yang kondusif dalam
keadaan sempurna dan bersih, akan memunculkan tingkah laku yang baik dan
positif. Kemungkinan ini terjadi karena dalam realitas hamper tidak mungkin
ntingkah laku muncul dipermukaan tanpa adanya sebab dalam bentuk dorongan yang
berbasiskebutuhan psikologis
Manusia
sebagai objek kajian psikologi sufistik tidak hanya dimaknai dalam keterkaitannya dengan dimensi jasmaniah dan
kejiwaan dalam tataran psikofisik, tetapi pemaknaannya dikaitkan juga
dengan dimensi ruhaniah dalam tataran
spiritual dan transendental. Konsep di atas didasarkan atas sebuah
pandangan, bahwa manusia diciptakan dari dua
unsur, jasmaniah dan ruhaniah. unsur jasmaniah terdiri dari materi,
sedang unsur ruhaniah berasal dari tuhan yang bersifatspiritual dan
transendental. karenanya, ada pendapat yang menyatakan bahwa manusia selain
memiliki sifat sifat kemanusiaan (nasût), jugamemiliki
potensi ketuhanan (lahût)
Atas
dasar pemikiran tersebut, maka manusia dalam persepektif psikologi sufistik
dituntut untuk menumbuh kembangkan potensi ruhaniyah melalui tahapan takhalli,
tahalli, dan tajalli hingga sampai pada tingkat manusia ideal
atau insan kamil dari sisi psikologi
sebenarnya merupakan proses aktualisasi diri, dimana manusia mencoba dan
berusaha mewujudkan akhlak ilahiyah sebagai rototipenya, sehingga timbul kesadaran yang kuat untuk mengubah situasi
hidupnya ke arah hidupyang bermakna pemancaran sifat-sifat ilahi dalam wujud
akhlak insanimerupakan perintah allah dalam al qur’an:
“berbuatlah baik sebagaimanaallah berbuat baik
kepadamu”.
Ayat
tersebut mengajarkan kepada kita bahwa tingkah laku manusia dengan sesamanya
hendaknya dimanifstasikan dalam bentuk menteladani sifat-sifat ilahi dalam
kehidupan keseharian sesuaidengan batas
kemampuan kemanusiannya.[13]
Potensi ruhaniyah ( Inner Potensial meliputi ;
a.
al-Qalb
Menurut
Al-Ghazali qalb mempunyai dua pengertian. Arti pertama adalah hati jasmani
(al-Qalb al-jasmani) atau daging sanubari (al-lahm al-sanubari), yaitu daging
khusus yang berbentuk jantung pisang yang terletak di dalam rongga dada sebelah
kiri dan berisi darah hitam kental. Qalb dalam arti ini erat hubungannya dengan
ilmu kedokteran, dan tidak banyak menyangkut maksud-maksud agama dan
kemanusiaan, karena hewan dan orang mati pun mempunyai qalb. Sedangkan qalb
dalam arti kedua adalah sebagai luthf rabbani ruhiy. al-Qalb merupakan alat
untuk mengetahui hakikat sesuatu.
Lapisan Qalb yang terluar disebut al-shadr yang merupakan tempat masuknya godaan penyakit, unek- unek , syahwat, dan segala kebutuhan. al-Shadr itu bisa lapang dan bisa sempit. Ia juga sekaligus munculnya cahaya Islam. Ia juga tempat menyimpan ilmu yang bersumber dari pendengaran. Sifat-sifatnya adalah insyirah dan dlaiq ( QS. 3 : 154. QS: 11 : 12 QS: 15 : 97 QS: 26 : 12-13 ). Kadar kebodohan dan kemarahan, dada seseorang menjadi sempit. Dan tidak ada batas kelapangannya. Jika al-shadr sempit dengan kebenaran maka penuh dengan kebatilan.
Lapisan Qalb yang terluar disebut al-shadr yang merupakan tempat masuknya godaan penyakit, unek- unek , syahwat, dan segala kebutuhan. al-Shadr itu bisa lapang dan bisa sempit. Ia juga sekaligus munculnya cahaya Islam. Ia juga tempat menyimpan ilmu yang bersumber dari pendengaran. Sifat-sifatnya adalah insyirah dan dlaiq ( QS. 3 : 154. QS: 11 : 12 QS: 15 : 97 QS: 26 : 12-13 ). Kadar kebodohan dan kemarahan, dada seseorang menjadi sempit. Dan tidak ada batas kelapangannya. Jika al-shadr sempit dengan kebenaran maka penuh dengan kebatilan.
Lapisan
Qalb yang kedua disebut al-qalb. Ia sebagai sumber cahaya keimanan, khusu’,
taqwa, ridla, yakin, khauf, raja`, sabar, qanaah. Al-qalb ibarat raja dan nafs
adalah kerajaan. Sifat-sifatnya a’ma ( QS. 22 :46 ) Lapisan Qalb yang ketiga
adalah al-Fuad yang merupakan tempat ma’rifat, bersitan (khawatir) dan
penglihatan ( al-ru`yah ) Lapisan qalb yang keempat adalah al-lub yang
merupakan tempat cahaya tauhid.
Alqalb
sebagai inner potensial bila diberdayakan secara optimal, dapat berfungsi
sebagai pemandu bagi pengembangan semua tingkah laku, qalb yang berfunsi secara
optimal dapat dikategorikan sebagai qlbu salim atau hati yang sehat, yang
indikasinya dapat diperhatikan melalui cirri – cirri sebagai berikut (1)
selamat dari setiap nafsu yang menyalahi ajaran Allah, (2) selamat dari hal –
hal yang yang berlawanan dengan kebaikan dan kebenaran, (3) selamat dari
penghambaan selain Allah , (4) bila mencintai dan membenci sesuatu karena Allah
(5) memiliki sikap kepribadian yang baik terhadap didri sendiri, (6) memiliki
keseimbangan mental dan (7) memiliki empati dan kepekaan social. [14]
b.
al-Aql
Ada
beberapa pengertian tentang aql. Pertama, aql adalah potensi yang siap menerima
pengetahuan teoritis. Kedua, aql adalah pengetahuan tentang kemungkinan sesuatu
yang mungkin dan kemuhalan sesuatu yang mustahil yang muncul pada anak usia
tamyiz, seperti pengetahuan bahwa dua itu lebih banyak dari pada satu dan
kemustahilan seseorang dalam waktu yang bersamaan berada di dua tempat.Ketiga,
aql adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman empirik dalam berbagai
kondisi. Keempat ,aql adalah potensi untuk mengetahui akibat sesuatu dan
memukul syahwat yang mendorong pada kelezatan sesaat.[15]
Dengan
demikian orang yang berakal adalah orang yang didalam melalukan perbuatan atau
tidak melakukan perbuatan didasarkan pada akibat yang akan muncul bukan
didasarkan pada syahwat yang mendatangkan kelezatan sesaat. Aql yang pertama
dan kedua merupakan bawaan sedangkan aql yang ketiga dan keempat merupakan
usaha.
Di dalam
al-Qur`an, kata aql dalam bentuk kata benda tidak ditemukan yang ditemukan di
dalam al-Qur`an adalah kata kerjanya yakni ya’qilun, ta’qilun dan seterusnya.
Aqala ( fi’il Madli, kata kerja lampau) berarti menahan atau mengikat. Dengan
demikian al-A’qil (isim fail) berarti orang yang menahan atau mengikat hawa
nafsunya sehingga nafsunya terkendali karena diikat atau ditahan. Sedangkan
orang yang tidak mempunyai aql tidak mengikat nafsunya sehingga nafsunya liar
tak terkendali.
Aql
sebagai inner potensial dan sebagai alat berfikir atau daya fikir, dalam
psikologi sugistik memiliki 4 potensi (1) Potensi yang dapat membedakan citra
manusia dengan hewan, (2) potensi yang dapat mengetahui perbuatan baik yang
selanjutnya diamalkan dan perbuatan buruk selanjutnya ditinggalkan, (3) potensi
yang dapat menyerap pengalaman, dan (4) potensi dapat mengantarkan seseorang
untuk mengetahui akibat segala tindakan. [16]
c.
al-Ruh
Para
ulama berbeda –beda dalam mengartikan ruh. Sebagaian mengartikan kehidupan
(al-hayah). Sementara menurut al-Qusyairi, ruh adalah jisim yang halus
bentuknya (sebagaimana malaikat, setan) yang merupakan tempat akhlak terpuji.
Dengan demikian ruh berbeda dengan al-nafs dari sisi potensi positif dan
negatif. Nafsu sebagai pusat akhlak tercela sementara ruh sebagai pusat akhlak
terpuji. Ruh juga merupakan tempat mahabbah pada Allah.[17]
d. al-Nafs
d. al-Nafs
Al-Nafs sebagai
inner potential dibedakan menjadi 2 pengertian. Pertama, al-Nafs sebagai
subtansi badani yang berpotensi amoral, mengabaikan pertimbangan akal / hati
nurani manusia. Nafs ini cenderung mengartikan al-Nafs dengan konotasi negatif.
Itulah sebabnya nafsu wajib diperangi (mujahadah al-nafs)[18]
Kedua
sebagai subtansi yang berepotensi baik dan beradap. al-Nafs dalam arti ini
mendapat berbagai julukan sesuai dengan kondisinya. Jika al-Nafs dalam
menghadapi syahwat dengan tenang maka dijuluki al-Nafs al-Muthmainnah, Jika
al-Nafs dalam menghadapi syahwat dengan tidak tenang tapi lebih cenderung
mengikutinya maka diberi julukan al-Nafs al-Ammarah, Nafs al-Nafs al-Ammarah bisa menjadi al-Nafs
al-Muthmainnah manakala seseorang terbebas dari akhlak yang tercela.[19]
Menurut
al-Ghazali nafsu diartikan “Perpaduan kekuatan marah (gadlab) dan syahwat dalam
diri manusia”. Kekuatan ghadlab pada awalnya tentu untuk sesuatu yang positif
seperti untuk mempertahankan diri, mempertahankan agama dan sebagainya. Dengan
adanya ghdlab itulah jihad diperintahkan dan kehormatan diri terjaga. Dengan
kekuatan marah seorang wanita menolak untuk dinodahi agama dan kehormatannya.
Dengan kekuatan marah seseorang dapat menumpas kedhaliman dan sebagainya. Namun
ketika gadlab tidak terkendali maka yang terjadi adalah kehancuran dan akhlak
tercela. Demikian juga dengan syahwat (syahwat sek) perkembangbiakan manusia
tetap berjalan, perpaduan antara pria dan wanita yang membentuk satu keluarga
bisa terjadi sehingga akan terbentuk komunitas sosial. Dengan syahwat (makan
dan minum), muamalah mencari rejeki dapat berjalan. Bisa dibayangkan seandainya
tidak ada syahwat makan, minum dan sebagainya tentu roda perekonomian tidak
mungkin berjalan. Namun bila syahwat tidak dikendalikan maka yang terjadi
adalah kehancuran dan akhlak tercela.[20]
Fitrah manusia sebagai anugerah Allah SWT yang tak ternilai harganya
itu harus dikembangkan agar manusia dapat menjadi manusia yang sempurna (insan
al-kamil). M. Natsir menyebutkan bahwa pengembangan fitrah adalah salah satu
tugas risalah yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW.
Setiap usaha pengembangan fitrah itu harus dilaksanakan secara sadar, berencana, dan sistematis. Secara eksplisit dapat dipahami dari firman Allah SWT di dalam Al-Quran, yaitu :
Setiap usaha pengembangan fitrah itu harus dilaksanakan secara sadar, berencana, dan sistematis. Secara eksplisit dapat dipahami dari firman Allah SWT di dalam Al-Quran, yaitu :
a.
Allah SWT menghendaki demikian
sebagaimana firman-Nya :
“Sesungguhnya kamu akan meningkat maju setahap demi setahap.” (Q.S. Al-Insyiqaq: 19)
“Sesungguhnya kamu akan meningkat maju setahap demi setahap.” (Q.S. Al-Insyiqaq: 19)
b.
Sunatullah (hukum alam ciptaan
Allah) juga menghendaki demikian. Segala sesuatu di dalam alam berproses
menurut hukum tertentu yang disebut sunatullah. Sebagaimana firman Allah :
“Allah yang telah menciptakan segala sesuatu lalu diproses-Nya ke arah sempurna.” (Q.S. Al-A’la: 2)
“Allah yang telah menciptakan segala sesuatu lalu diproses-Nya ke arah sempurna.” (Q.S. Al-A’la: 2)
Pengembangan
fitrah manusia harus dilaksanakan secara menyeluruh dan berimbang. Apabila
semua fitrah tersebut tidak dilaksanakan secara menyeluruh dan berimbang maka
tidak akan tercapai manusia yang sempurna (insan al-kamil), bahkan dapat
mendatangkan kehancuran bagi manusia. Isyarat Al-Quran mengatakan bahwa :
1)
Manusia yang fitrah agamanya
tidak dikembangkan, sehingga ia menjadi kafir, maka ia adalah sejahat-jahat
hewan melata.
Firman Allah SWT :
Firman Allah SWT :
“Sesungguhnya
sejahat-jahat hewan yang melata menurut Allah ialah orang-orang yang kafir,
karena mereka tidak mau beriman.” (Q.S. Al-Anfal: 55)
2)
Manusia yang fitrah
intelektualnya tidak dikembangkan, sehingga ia menjadi bodoh, maka ia adalah
lebih sesat dari hewan.
“Dan sesungguhnya telah Kami sediakan isi neraka itu kebanyakan dari jin dan manusia, bagi mereka ada akal tetapi tidak dapat berpikir dengannya, dan bagi mereka ada mata tetapi tidak dapat melihat dengannya dan baginya ada telinga tetapi tidak dapat mendengar dengannya, mereka itu adalah seperti hewan, bahkan lebih sesat, mereka itu adalah orang-orang yang lalim.” (Q.S. Al-A’raf: 179)
Walaupun hidayah aql dan qalb merupakan hidayah yang dapat mengembangkan fitrah manusia, namun apa yang dapat diperoleh aql dan qalb tersebut bersifat relatif, maka dengan hidayah Din dapat diperoleh kebenaran yang mutlak dan hakiki.
“Dan sesungguhnya telah Kami sediakan isi neraka itu kebanyakan dari jin dan manusia, bagi mereka ada akal tetapi tidak dapat berpikir dengannya, dan bagi mereka ada mata tetapi tidak dapat melihat dengannya dan baginya ada telinga tetapi tidak dapat mendengar dengannya, mereka itu adalah seperti hewan, bahkan lebih sesat, mereka itu adalah orang-orang yang lalim.” (Q.S. Al-A’raf: 179)
Walaupun hidayah aql dan qalb merupakan hidayah yang dapat mengembangkan fitrah manusia, namun apa yang dapat diperoleh aql dan qalb tersebut bersifat relatif, maka dengan hidayah Din dapat diperoleh kebenaran yang mutlak dan hakiki.
III.
KESIMPULAN
Fitrah
merupakan semua bentuk potensi yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada
manusia semenjak proses penciptaannya di alam rahim guna kelangsungan hidupnya
di atas dunia serta menjalankan tugas dan fungsinya sebagai makhluk terbaik
yang diciptakan oleh Allah swt.
Fitrah dilihat dari pengertian nativistik adalah faktor
hereditas (keturunan) yang bersumber dari orang tua, termasuk keturunan
beragama (religiositas). Pengertian nativistik yang dimaksudkan adalah suatu
paham yang menyatakan bahwa perkembangan manusia dalam hidupnya secara mutlak
ditentukan oleh potensi dasarnya. Proses kependidikan sebagai upaya untuk
mempengaruhi jiwa anak dididk tidak berdaya merubahnya, paham yang nativisme
ini berasal dari pandangan filosofis ahli pikir Italia bernama Lomrosso dan
ahli pikir Jerman bernama Schopenheuer pada abad pertengahan.
Fitrah yang dimiliki manusia itu merupakan karunia dari
Allah kepada mereka, yang mana didalamnya terdapat beberapa komponen-komponen,
baik itu komponen psikologis, komponen potensi, ataupun itu komponen dasar.
Manusia memiliki kemampuan untuk menerima sifat-sifat
Tuhan dan mengembangkan sifat-sifat tersebut adalah merupakan potensi dasar
manusia yang terbawa sejak lahir.
[1]
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam , 2005, Gaya Media Pratama,
Jakarta, hal. 81
[2] Ibid,
hal. 80
[3] Samsul Nizar,
Pengantar Dasar-Dasar Pemikira Pendidikan Islam, 2001, Media Pratama,
Jakarta hal. 44
[5] M.
Quraish Shihab, Membumikan Al Quran, Bandung, Mizan, 1996, hal. 284
[6]
Abdul Mujib M.Ag, 1999, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan
Psikologis, Darul Falah Jakarta, , hal. 36
[7] Armai Arief, Dr. MA., , 2002, Pengantar Ilmu
dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat Pers, Jakarta, hal. 6 -7
[8] Samsul Nizar, 2001, Pengantar
Dasar-Dasar Pemikira Pendidikan Islam, Media Pratama, Jakarta, hal. 76
[11] Abdul Mujib M.Ag, 1999, Fitrah dan
Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, Darul Falah Jakarta, ,
hal. 36 -69
[12]
Ahmad, Zayadi, 2004, Manusia dan Pendidikan dalam persepektif Al-Quran,
, PSPM, Bandung, hal 50 -51
[13] Abdullah Hadziq Dr. Kontribusi Psikologi sufistik terhadap
pengembangan pendidikan Multicultural, Jurnal ISJD LIPI, Edisi 7 Vol. IV April 2008, hal. 8 - 9
[15] Tedi Priatna. 2004, Reaktualisasi
Paradigma Pendidikan Islam, Pustaka Bani Quraisy. Bandung, hal 88.
[17] Abdurrahman Saleh Abdullah, 1994, Teori-Teori
Pendidikan Berdasarkan AL Qur’an, PT Rineka Cipta, Jakarta, Hal. 68
[18] Samsul Nizar, 2001, Pengantar
Dasar-Dasar Pemikira Pendidikan Islam, Media Pratama, Jakartal. 58
[20]
http://mazguru.wordpress.com/2009/02/08/potensi-ruhaniah-manusia
Langganan:
Postingan (Atom)