ARTIKELKU

Selasa, 22 Mei 2012

TRANSFORMASI PENDIDIKAN ISLAM MENUJU MASYARAKAT MADANI


A.      Pendahuluan
Pada saat ini banyak masyarakat yang menginginkan suatu perubahan dalam semua aspek kehidupan, yakni kehidupan yang memiliki suatu komunitas kemandirian aktifitas warga masyarakatnya, yang berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat dan agama. Dengan mewujudkan dan memperlakukan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, penegakan hukum, kemajemukan(pluralisme) serta perlindungan terhadap kaum minoritas.
Kondisi kehidupan seperti ini terlihat dalam konsep masyarakat madani yang ada pada zaman Rosululloh. Hal ini juga merupakan sebuah tuntutan dalam Al-Qur’an kepada manusia, untuk memikirkan merekonstruksi suatu masyarakat ideal berdasarkan petunjuk Al-Qur’an. Sebuah isyaroh Al-Qur’an mengenai masyarakat madani terdapat dalam surat Al Maidah: 48.
Konsep masyarakat madani merupakan konsep yang bersifat universal, sehingga  perlu adaptasi dan disosialisasikan apabila konsep ini akan diwujudkan.Hal ini terjadi karena konsep masyarakat madani memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda. Apabila konsep ini akan diaktualisasikan maka diperlukan suatu perubahan kehidupan. Langkah yang kontinyu dan sistematis yang dapat merubah paradigma kebiasaan dan pola hidup masyarakat, untuk itu diperlukan berbagai terobosan dan penyusunan konsep serta paradigma baru dalam menghadapi tuntutan baru.
Konsep  masyarakat  madani  merupakan  tuntutan  baru  yang  memerlukan berbagai torobosan di dalam berpikir, penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan. Dengan kata lain, dalam menghadapi perubahan masyarakat dan zaman, “diperlukan suatu paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru, demikian kata filsuf Kuhn. Karena menurut Kuhn, apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan  menggunakan paradigma  lama,  maka  segala  usaha  yang  dijalankan  akan
memenuhi kegagalan".
Sektor pendidikan memiliki peran yang strategis dalam membangun masyarakat madani. Pendidikan senantiasa berusaha untuk menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat. Oleh karena itu peran pendidikan sangat diperlukan untuk mempersiapkan individu dan masyarakat, sehingga memiliki kemampuan dan motivasi serta berpartisipasi secara aktif dalam meng aktualisasikan masyarakat madani.
Terobosan pemikiran kembali konsep dasar pembaharuan pendidikan Islam menuju masyarakat madani sangat diperlukan, karena "pendidikan sarana terbaik yang didisain untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari adanya perkembangan-perkembangan disetiap cabang pengetahuan manusia (Conference Book, London, 1978:16-17). Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, maka masalah yang perlu dicermati dalam pembahasan ini adalah   bagaimanakah pendidikan Islam didesain menuju masyarakat madani Indonesia.
Berangkat dari sinilah penilis akan megkaji permasalahan ini dengan rumusan sebagai berikut:
  1. Bagaimana konsep masyarakat madani ?
2.      Bagaimana konsep pendidikan islam dalam masyarakat madani ?

B.       Pembahasan
1. Konsep Masyarakat Madani
Terminologi masyarakat madani pertama kali dipopulerkan oleh Mohammad An-Nuqaib Al-Attas, yaitu Mujtamak madani yang secara etimologi mempunyai dua arti: pertama, masyarakat kota. Kedua masyarakat yang beradap (masyarakat tamaddun). Dalam bahasa Inggris dikenal dengan civilty atau civilation, dalam makna ini masyarakat madani dapat berarti dengan Civil Society yaitu masyarakat yang menjunjung peradaban.( Barnadib,1998:14)
Istilah civil society pertama kali dikemukakan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah societies civilis, namun istilah ini mengalami perkembangan pengertian. Kalau Cicero memahaminya identik dengan negara, maka kini dipahami sebagai kemandirian aktivitas warga masyarakat madani sebagai "area tempat berbagai gerakan sosial" (seperti himpunan ketetanggaan, kelompok wanita, kelompok keagamaan, dan kelompk intelektual) serta organisasi sipil dari semua kelas (seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan usahawan) berusaha menyatakan diri mereka dalam suatu himpunan, sehingga mereka dapat mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukkan pelbagai kepentingan mereka. Secara ideal masyarakat madani ini tidak hanya sekedar terwujudnya kemandirian masyarakat berhadapan dengan negara, melainkan juga terwujudnya nilai- nilai tertentu dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan kemajemukan (pluralisme) (Masykuri Abdillah, 1999:4).
Hal di atas bukan berarti antara civil society dan masyarkat madani memiliki makna yang sama karena civil society merupakan perkembangan pemikiran yang ada di dunia Barat, yang tentu berbeda dengan budaya sosial masyarakat Islam. Dalam perspektif Islam social society lebih mengacu kepada penciptaan peradaban. Berkaitan mengenai makna At Tamaddun yang berarti peradapan dengan Al-Madinah yang berati kota,maka civil of society diterjemahkan sebagai masyarakat madani yang mengandung tiga hal yaitu: agama yang merupakan sumbernya dan peradapan adalah prosesnya serta masyarakat kota adalah hasilnya (Wibowo,1990:59)
Kata madani sepintas orang mendengar asosiasinya dengan kata Madinah, memang demikian karena kata Madani berasal dari dan terjalin erat secara etimologi dan terminologi dengan Madinah yang kemudian menjadi ibukota pertama pemerintahan Muslim.  Maka,  "Kalangan  pemikir  muslim  mengartikan  civil  society  dengan  cara memberi atribut keislaman madani (attributive dari kata al-Madani). Oleh karena itu, civil society dipandang dengan masyarakat madani yang pada masyarakat idial di (kota) Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam masyarakat tersebut Nabi berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga, serta perlindungan terhadap kelompok minoritas. Dengan begitu, kalangan pemikir Muslim menganggap masyarakat (kota) Madinah sebagai prototype masyarakat ideal produk Islam yang dapat dipersandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society"(Thoha Hamim, 1999:4).
Kemajemukan masyarakat Madinah mengakibatkan munculnya permasalahan sosial yang harus diantisipasi dengan baik  pada saat itu . Oleh karena Nabi Muhammad bersama  penduduk Madinah meletakkan dasar masyarakat Madinah dengan menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal dengan piagam Madinah. Hal tersebut diangap sebagai konstitusi tertulis yang pertama dalam sejarah manusia.
Istitusi piagam Madinah yang berjumlah 47 pasal secara formal mengatur hubungan sosial antara komponen masyarakat dari sesama muslim dan antar komunitas muslim dengan non muslim. Di dalamnya juga terdapat nilai dasar yang tertuang sebagai fundamental dalam mendirikan dan membangun negara Madinah yaitu prinsip kesederajatan dan keadilan. Hal ini mencakup semua aspek baik politik, ekonomi, maupun hukum. Dan yang kedua adalah insklusivisme (keterbukaan) konsekwensi dari kemanusiaan yang merupakan suatu pandangan secara positif dan optimis dalam memandang manusia yang pada dasarnya baik. Kedua prinsip ini menjadi landasan ideal dan operasional dalam menjalin hubungan masyarakat  yang mencakup semua aspek kehidupan.(Ahatta,2001:181)
Sedangkan menurut, Komaruddin Hidayat, dalam wacana keislaman di Indonesia, adalah Nurcholish Madjid yang menggelindingkan istilah "masyarakat madani" ini, yang spirit serta visinya terbakukan dalam nama yayasan Paramadinah (terdiri dari kata "para" dan "madinah", dan atau "parama" dan "dina"). Maka, secara "semantik" artinya kira-kira ialah, sebuah agama (dina) yang excellent (paramount) yang misinya ialah untuk membangun sebuah peradaban (madani) (Kamaruddin Hidayat, 1999:267-268).
Menurut Komaruddin Hidayat, bagi kalangan intelektual Muslim kedua istilah (masyarakat agama dan masyarakat madani) memilki akar normatif dan kesejarahan yang sama, yaitu sebuah masyarakat yang dilandasi norma-norma keagamaan sebagaimana yang diwujudkan Muhammad SAW di Madinah, yang berarti "kota peradaban", yang semula kota itu bernama Yathrib ke Madinah difahami oleh umat Islam sebagai sebuah manifesto konseptual mengenai upaya Rasulullah Muhammad untuk  mewujudkan sebuah  masyarakat Madani,  yang  diperhadapkan dengan masyarakat Badawi dan Nomad (Kamaruddin Hidayat, 1999:267). Untuk kondisi Indonesia sekarang, kata Madani dapat diperhadapkan dengan istilah masyarakat Modern.
Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa, bentuk masyarakat madani adalah suatu  komunitas  masyarakat  yang  memiliki  "kemandirian  aktivitas  warga masyarakatnya" yang berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama, dengan mewujudkan dan memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan (persamaan), penegakan hukum, jaminan kesejahteraan, kebebasan, kemajemukan (pluralisme), dan perlindungan terhadap kaum minoritas. Dengan demikian, masyarakat
madani merupakan suatu masyarakat ideal yang dicita-citakan dan akan diwujudkan di
bumi Indonesia, yang masyarakatnya sangat plural.
Dari uraian di atas, maka   sangat perlu untuk mengetahui ciri masyarakat tersebut. Antonio Rosmini, dalam The Philosophy of Right, Rights in Civil Society” (1996: 28-50) yang dikutip Mufid, menyebutkan pada masyarakat madani terdapat sepuluh ciri yang menjadi karakteristik masyarakat tersebut, yaitu:   Universalitas, supermasi, keabadian, dan pemerataan kekuatan (prevalence of force) adalah empat ciri yang pertama. Ciri yang kelima, ditandai dengan "kebaikan dari dan untuk bersama". Ciri ini bisa terwujud jika setiap anggota masyarakat memiliki akses pemerataan dalam memanfaatkan kesempatan (the tendency to equalize the share of utility). Keenam, jika masyarakat madani  "ditujukan untuk  meraih  kebajikan umum"  (the  common good), kujuan akhir memang kebajikan publik (the public good). Ketujuh, sebagai "perimbangan kebijakan umum", masyarakat madani juga memperhatikan kebijakan perorangan dengan cara memberikan alokasi kesempatan kepada semua anggotanya meraih kebajikan itu. Kedelapan, masyarakat madani, memerlukan "piranti eksternal" untuk mewujudkan tujuannya. Piranti eksternal itu adalah masyarakat eksternal. Kesembilan, masyarakat madani bukanlah sebuah kekuatan yang berorientasi pada keuntungan (seigniorial  or  profit).  Masyarakat  madani  lebih  merupakan  kekuatan  yang  justru memberi manfaat (a beneficial power). Kesepuluh, kendati masyarakat madani memberi kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya, tak berarti bahwa ia harus seragam, sama dan sebangun serta homogin (Mufid, 1999:213).
Lebih lanjut, menurut Mufid, menyatakan bahwa masyarakat madani terdiri dari berbagai  warga  beraneka  "warna",  bakat  dan  potensi.  Karena  itulah,  masyarakar madani di sebut sebagai masyarakat "multi-kuota" (a multi quota society). Maka, secara umum sepuluh ciri tersebut sangat idial, sehingga mengesankan seolah tak ada masyarakat seideal itu. Kalau ada, yaitu masyarakat muslim yang langsung dipimpin oleh Nabi SAW yang relatif memenuhi syarat tersebut. Memang, masyarakat seideal masyarakat “madinah” telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya, "tak ada satupun masyarakat di dunia ini yang sebaik masyarakat atau sebaik-baik masa adalah masaku" (ahsanul qurun qarni) - terlepas dari status sahih dan tidaknya sabda ini, ataupun siapa periwayatnya (Mufid, 1999:213-214). Diakui bahwa masyarakat Madinah yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW merupakan prototype masyarakat idial. Maka, prototype masyarakat madani tersebut,  pada era reformasi ini, nampaknya akan upayakan untuk diwujudkan di Indonesia atau dengan kata lain akan ditiru dalam wacana masyarakat Indonesia yang sangat pluralis.

2. Pendidikan Islam
Sebelum membahas tentang pengertian pendidikan Islam, terlebih dahulu membahas apa itu pendidikan?   Menurut M.J. Langeveld ; "Pendidikan merupakan upaya manusia dewasa membimbing yang belum kepada kedewasaan (Kartini Kartono,1997:11). Ahmad D.Marimba, merumuskan pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh sipendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani siterdidik menuju terbentuknya keperibadian yang utama (Ahmad D. Marimba, 1978:20). Demikian dua  pengertian  pendidikan  dari  sekian  banyak  pengertian  yang  diketahui.  Dalam Undang-Undang  Sistem  Pendidikan  Nasional  Nomor  :  2  Tahun  1989,  "pendidikan dirumuskan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi perannya di masa yang akang datang. Sedangkan, "pendidikan dalam pengertian yang luas adalah meliputi perbuatan atau semua usaha generasi tua untuk mengalihkan (melimpahkan) pengetahuannya, pengalamannya, kecakapan serta keterampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya, baik jasmaniah maupun rohaniah (Zuhairin, 1985:2).
Para ahli Filsafat Pendidikan, menyatakan bahwa dalam merumuskan pengertian pendidikan sebenarnya sangat tergantung kepada pandangan terhadap manusia; hakikat, sifat-sifat atau karakteristik dan tujuan hidup manusia itu sendiri. Perumusan pendidikan bergantung kepada pandangan hidupnya, "apakah manusia dilihat sebagai kesatuan badan dan jasmani; badan, jiwa dan roh, atau jasmani dan rohani? Apakah manusia pada hakekatnya dianggap memiliki kemampuan bawaan (innate) yang menentukan perkembangannya dalam lingkungannya, atau lingkungannyalah yang menentukan  (domain)   dalam   perkembangan  manusia?  Bagimanakah  kedudukan individu dalam masyarakat? Apakah tujuan hidup manusia? Apakah manusia dianggap hanya hidup sekali di dunia ini, ataukah hidup lagi di hari kemudian (akhirat)? Demikian beberapa pertanyaan filosofis" yang diajukan.
Pertanyaan-pertanyaan  tersebut  di  atas  ,  memerlukan  jawaban  yang menentukan pandangan terhadap hakekat dan tujuan pendidikan, dan dari sini juga sebagai pangkal perbedaan rumusan pendidikan atau timbulnya aliran-aliran pendidikan

seperti;   pendidikan   Islam,   Kristen,   Liberal,   progresif   atau   pragmatis,   komunis, demokratis, dan lain-lain. Dengan demikian, terdapat keaneka ragaman pendangan tentang pendidikan. Tetapi, "dalam keanekaragaman pandangan tentang pendidikan terdapat titik-titik persamaan tentang pengertian pendidikan, yaitu pendidikan dilihat sebagai suatu proses; karena dengan proses itu seseorang (dewasa) secara sengaja mengarahkan pertumbuhan atau perkembangan seseorang (yang belum dewasa). Proses adalah kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang sesuai dengan nilai- nilai yang merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Maka, dengan pengertian atau definisi itu, kegiatan atau proses pendidikan hanya berlaku pada manusia tidak pada hewan" (Anwar Jasin, 1985:2).
Dari uraian di atas, timbul pertanyaan apakah Pendidikan Islam itu? Pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam (Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, 1986:2), atau menurut Abdurrahman an-Nahlawi, "pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah (Abdurrahman an- Nahlawi, 1995:26).
Dari pandangan ini, dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam bukan sekedar "transper of knowledge" ataupun "transper of training", ....tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi “keimanan” dan “kesalehan”, yaitu suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan (Roihan Achwan, 1991:50). Dengan demikian, dapat dikatakan pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Maka sosok pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang membawa manusia kearah kebahagian dunia dan akhirat melalui ilmu dan ibadah. Karena pendidikan Islam membawa manusia untuk kebahagian dunia dan akhirat, maka yang harus diperhatikan adalah "nilai-nilai Islam tentang manusia; hakekat dan sifat-sifatnya, misi dan tujuan hidupnya di dunia ini dan akhirat nanti, hak dan kewajibannya sebagai individu dan anggota masyarakat. Semua ini dapat kita jumpai dalam al-Qur'an dan Hadits (Anwar Jasin, 1985:2).
Jadi, dapat dikatakan bahwa "konsepsi pendidikan model Islam, tidak hanya melihat pendidikan itu sebagai upaya "mencerdaskan" semata (pendidikan intelek, kecerdasan), melainkan sejalan dengan konsep Islam tentang manusia dan hakekat eksistensinya. ...Maka,..pendidikan Islam sebagai suatu pranata sosial, juga sangat terkait dengan pandangan Islam tentang hakekat keberadaan (eksistensi) manusia. Oleh karena itu, pendidikan Islam juga berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran bahwa manusia itu sama di depan Allah dan perbedaanya adalah terletak pada kadar ketaqwaan masing-masing manusia, sebagai bentuk perbedaan secara kualitatif" (M.Rusli Karim, 1991:29-32).
Pendidikan berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran pada manusia, maka sangat urgen sekali untuk memperhatikan konsep atau pandangan Islam tentang manusia sebagai makhluk yang diproses kearah kebahagian dunia dan akhirat, maka pandangan Islam tentang manusia antara lain:  Pertama, konsep Islam tentang manusia, khsusunya anak, sebagai subyek didik, yaitu sesuai dengan Hadits Rasulullah, bahwa “anak manusia” dilahirkan dalam fitrah atau dengan "potensi" tertentu (Anwar  Jasin,  1985:2).  Dalam  al-Qur'an,  dikatakan  "tegakkan  dirimu  pada  agama dengan tulus dan mantap, agama yang cocok dengan fitrah manusia yang digariskan oleh Allah. Tak ada perubahan pada ketetapan-Nya.....(ar-Rum : 30). Dengan demikian, manusia  pada  mulanya  dilahirkan  dengan  "membawa  potensi"  yang  perlu dikembangkan dalam dan oleh lingkungannya. Pandangan ini, "berbeda dengan teori

tabularasa yang menganggap anak menerima "secara pasif" pengaruh lingkungannya, sedangkan konsep fitrah mengandung "potensi bawaan" aktif (innate patentials, innate tendencies) yang telah di  berikan kepada setiap manusia oleh Allah (Anwar Jasin,
1985:3). Bahkan dalam al-Qur'an, sebenarnya sebelum manusia dilahirkan telah mengadakan "transaksi" atau "perjanjian" dengan Allah yaitu mengakui keesaan Tuhan, firman Allah surat al-A'raf : 172, "Ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
Adam  dari  sulbi  mereka  dan  menyuruh  agar  mereka  bersaksi  atas  diri  sendiri; "Bukankah Aku Tuhanmu?" firman Allah. Mereka menjawab; "ya kami bersaksi" yang demikian agar kamu tidak berkata pada hari kiamat kelak, "kami tidak mengetahui hal
ini" (Zaini Dahlan, 1998:304). Apabila kita  memperhatikan ayat ini, memberi gambaran
bahwa setiap anak yang lahir telah membawa "potensi keimanan" terhadap Allah atau disebut dengan "tauhid". Sedangakan potensi bawaan yang lain misalnya potensi fisik dan  intelegensi  atau  kecerdasan  akal  dengan  segala  kemungkinan  dan keterbatasannya.
Selain itu, dalam al-Qur'an banyak dijumpai ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat hakiki manusia yang mempunyai implikasi baik terhadap tujuan maupun cara pengarahan  perkembangannya.  Misalnya  saja:  tentang  tanggung  jawab,  bahwa manusia diciptakan tidak sia-sia, tetapi juga potensi untuk bertanggung jawab atas perbuatannya dan sesuai dengan tingkat kemampuan daya pikul seseorang menurut
kodrat  atau  fitrah-nya  (pada  al-Mu'minun:115  dan  al-Baqrah:286).  Selain  itu  juga
manusia  pada  hakekat  dan  menurut  kejadiannya  bersedia  dan  sanggup  memikul amanah (pada al-Ahzab : 72). Di samping itu, hal yang juga penting implikasinya bagi pendidikan adalah  tanggung jawab yang ada pada manusia bersifat pribadi, artinya tidaklah seseorang dapat memikul beban orang lain, beban itu dipikul sendiri tanpa melibatkan orang lain (pada Faathir:18). Sifat lain yang ada pada manusia adalah manusia diberi oleh Allah kemampuan al-bayan (fasih perkataan - kesadaran nurani) yaitu daya untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya melalui kemampuan berkomunikasi   dengan   bahasa   yang   baik   (pada   ar-Rahman:3-4).   Pada   hadits Rasulullah, "barang siapa ingin mencapai kebahagian dunia harus ditempuh dengan ilmu dan barang siapa yang mencari kebahagian akhirat juga harus dengan ilmu, dan barang untuk mencari keduanya juga harus dengan ilmu". Dari pandangan ini, dapat dikatakan bahwa tugas dan fungsi pendidikan adalah mengarhkan dengan sengaja segala potensi yang ada pada seseorang seoptimal mungkin sehingga ia berkembang menjadi seorang muslim yang baik.   Kedua, peranan pendidikan atau pengarah perkembanagan. Potensi manusia yang dibawah sejak dari lahir itu bukan hanya bisa dikembangkan dalam lingkungan tetapi juga hanya bisa berkembang secara terarah bila dengan bantuan orang lain atau pendidik. Dengan demikian, tugas pendidik mengarahkan segala potensi subyek didik seoptimal mungkin agar ia dapat memikul amanah dan tanggung jawabnya baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, sesuai dengan profil manusia Muslim yang baik.   Ketiga, profil manusia Muslim.    Profil  dasar  seorang  Muslim  yang  baik  adalah  ketaqwaan  kepada  Allah. Dengan demikian, perkembangan anak haruslah secara sengaja diarahkan kepada pembentukan ketaqwaan. Keempat, metodologi pendidikan.   Metodologi diartikan sebagai prinsip-prinsip yang mendasari kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang, khususnya pada proses belajar-mengajar. Maka, pandangan bahwa seseorang dilahirkan dengan potensi bawaan tertentu dan dengan itu ia mampu berkembang secara aktif dalam lingkungannya, mempunyai implikasi bahwa proses belajar-mengajar harus didasarkan pada prinsip belajar siswa aktif (student active learning) (Anwar Jasin, 1985:4-5).
Jadi, dari pandangan di atas, pendidikan menurut Islam didasarkan pada asumsi bahwa  manusia  dilahirkan  dalam  keadaan  fitrah  yaitu  dengan  membawa  "potensi

bawaan" seperti potensi "keimanan", potensi untuk memikul amanah dan tanggung jawab, potensi kecerdasan, potensi fisik. Karena dengan potensi ini, manusia mampu berkembang secara aktif dan interaktif dengan lingkungannya dan dengan bantuan orang lain atau pendidik secara sengaja agar menjadi manusia muslim yang mampu menjadi khalifah dan mengabdi kepada Allah.
Bersarkan uraian di atas, pengertian pendidikan menurut al-Qur'an dan hadits sangat luas, meliputi pengembangan semua potensi bawaan manusia yang merupakan rahmat Allah. Potensi-potensi itu harus dikembangkan menjadi kenyataan berupa keimanan dan akhlak serta kemampuan beramal dengan menguasai ilmu (dunia – akhirat) dan keterampilan atau keahlian tertentu sehingga mampu memikul amanat dan tanggung jawab sebagai seorang khalifat dan muslim yang bertaqwa. Tetapi pada realitasnya pendidikan Islam, sebagaimana yang lazim dikenal di Indonesia ini, memiliki pengertian yang agak sempit, yaitu program pendidikan Islam lebih banyak menyempit ke-pelajaran fiqh ibadah terutama, dan selama ini tidak pernah dipersoalkan apakah isi program pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan telah sesuai benar dengan luasnya pengertian pendidikan menurut al-Qur'an dan hadits (ajaran Islam).

3. Transformasi Pendidikan Islam
Pendidikan Islam di Indonesia masih menghadapi berbagai masalah dalam berbagai aspek. Upaya perbaikannya belum dilakukan secara mendasar, sehingga terkesan seadanya saja ....Selama ini, upaya pembaharuan pendidikan Islam secara mendasar, selalu dihambat oleh berbagai masalah mulai dari persoalan dana sampai tenaga ahli. Padahal pendidikan Islam dewasa ini, dari segi apa saja terlihat goyah terutama karena orientasi yang semakin tidak jelas (Muslih Usa, 1991:11-13). Berdasarkan uraian ini, ada dua alasan pokok mengapa konsep   pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia untuk menuju masyarakat madani sangat mendesak. (a) konsep dan praktek pendidikan Islam dirasakan terlalu sempit, artinya terlalu menekankan pada kepentingan akhirat, sedangkan ajaran Islam menekankan pada keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat. Maka perlu pemikiran kembali konsep pendidikan Islam yang betul-betul didasarkan pada asumsi dasar tentang manusia yang akan diproses menuju masyarakat madani. (b) lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dimiliki sekarang ini, belum atau kurang mampu memenuhi kebutuhan umat Islam dalam menghadapi tantangan dunia modern dan tantangan masyarakat dan bangsa Indonesia disegala bidang. Maka, untuk menghadapi dan menuju masyarakat madani diperlukan konsep pendidikan Islam serta peran sertanya secara mendasar dalam memberdayakan umat Islam,
Suatu usaha pembaharuan pendidikan hanya bisa terarah dengan mantap apabila  didasarkan  pada  konsep  dasar  filsafat  dan  teori  pendidikan  yang  mantap. Filsafat pendidikan yang mantap hanya dapat dikembangkan di atas dasar asumsi- asumsi dasar yang kokoh dan jelas tentang manusia (hakekat) kejadiannya, potensi- potensi bawaannya, tujuan hidup dan misinya di dunia ini baik sebagi individu maupun
sebagai anggota masyarakat, hubungan dengan lingkungan dan alam semesta dan
akhiratnya hubungan dengan Maha Pencipta. Teori pendidikan yang mantap hanya dapat dikembangkan atas dasar pertemuan antara penerapan atau pendekatan filsafat dan pendekatan emperis (Anwar Jasin, 1985:8), Sehubungan dengan itu, konsep dasar pembaharuan   pendidikan   Islam   adalah   perumusan   konsep   filsafat   dan   teoritis pendidikan yang didasarkan pada asumsi-asumsi dasar tentang manusia dan hubungannya dengan lingkungan dan menurut ajaran Islam.
Maka, dalam usaha pembaharuan pendidikan Islam perlu dirumuskan secara jelas implikasi ayat-ayat al-Qur'an dan hadits yang menyangkut dengan "fitrah" atau potensi bawaan, misi dan tujuan hidup manusia. Karena rumusan tersebut akan menjadi konsep dasar filsafat pendidikan Islam. Untuk itu, filsafat atau segala asumsi dasar pendidikan Islam hanya dapat diterapkan secara baik jikalau kondisi-kondisi lingkungan ( sosial - kultural ) diperhatikan.   Jadi, apabila kita ingin mengadakan perubahan pendidikan Islam maka langkah awal yang harus dilakukan adalah merumuskan konsep dasar filosofis pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam,  mengembangkan secara empris prinsip-prinsip yang mendasari keterlaksanaannya dalam konteks lingkungan (sosial cultural)  yang dalam hal ini adalah masyarakat madani. Jadi,  tanpa kerangka dasar filosofis dan teoritis yang kuta, maka perubahan pendidikan Islam tidak punya pondasi  yang kuat dan juga tidak mempunyai arah yang pasti (Rangkuman dari Anwar Jasin, 1985:8 –9).
Konsep dasar filsafat dan teoritis pendidikan Islam, harus ditempatkan dalam konteks supra sistem masyarakat madani di mana pendidikan itu akan diterapkan. Apabila terlepas dari konteks "masyarakat madani", maka pendidikan menjadi tidak relevan dengan kebutuhan umat Islam pada kondisi masyarakat tersebut (masyarakat madani). Jadi, kebutuhan umat yang amat mendesak sekarang ini adalah mewujudkan dan meningkatan kualitas manusia Muslim menuju masyarakat madani. Untuk itu umat Islam   di   Indonesia   dipersiapkan   dan   harus   dibebaskan   dari   ketidaktahuannya (ignorance) akan kedudukan dan peranannya dalam kehidupan "masyarakat madani" dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan Islam haruslah dapat meningkatkan mutu umatnya dalam menuju "masyarakat madani". Kalau tidak umat Islam akan ketinggalan dalam kehidupan "masyarakat madani" yaitu masyarakat ideal yang dicita-citakan bangsa ini.   Maka tantangan utama yang dihadapi umat Islam sekarang adalah peningkatan mutu sumber insaninya dalam menempatkan diri dan memainkan perannya dalam komunitas masyarakat madani dengan menguasai ilmu dan teknologi yang berkembang semakin pesat. Karena, hanya mereka yang menguasai ilmu dan teknologi modern dapat mengolah kekayaan alam yang telah diciptakan Allah untuk manusia dan diamanatkan-Nya kepada manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini untuk diolah bagi kesejahteraan umat manusia.
Maka   masyarakat   madani   yang   diprediski   memiliki   ciri   ;   Universalitas, Supermasi,  Keabadian,  Pemerataan  kekuatan,  Kebaikan  dari  dan  untuk  bersama, Meraih kebajikan umum, Perimbangan kebijakan umum, Piranti eksternal, Bukan berinteraksi pada keuntungan, dan Kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya. Atas dasar konsep   ini, maka konsep filsafat dan teoritis pendidikan Islam dikembangkan sebagai prinsip-prinsip yang mendasari keterlaksanaannya dalam kontek lingkungan masyarakat madani tersebut, sehingga pendidikan relevan dengan kondisi dan ciri sosial kultural masyarakat tersebut. Maka, untuk mengantisipasi perubahan menuju "masyarakat madani", pendidikan Islam harus didisain untuk menjawab perubahan tersebut. Oleh karena itu, usulan perubahan sebagai berikut : (a) pendidikan harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama, karena, dalam pandangan seorang muslim, ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT, (b) pendidikan menuju tercapainya sikap dan perilaku "toleransi", lapang dada dalam berbagai hal dan bidang, terutama toleran dalam perbedaan pendapat dan penafsiran ajaran Islam, tanpa melepaskan pendapat atau prinsipnya yang diyakini, (c) pendidikan yang mampu menumbuhkan kemampuan untuk berswadaya dan mandiri dalam kehidupan, (d) pendidikan yang menumbuhkan ethos kerja, mempunyai aspirasi pada kerja, disiplin dan jujur (Suroyo, 1991:45-48), (e) pendidikan Islam harus didisain untuk mampu menjawab tantangan masyarakat madani.
Dalam konteks ini juga perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga- lembaga pendidikan (Anwar Jasin, 1985:15) Islam yang ada. Memang diakui bahwa penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup mengemberikan, artinya

lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta keterampilan. Tetapi pada kenyataannya penyesuaian tersebut lebih merupakan peniruan dengan tambal sulam atau dengan kata lain mengadopsi model yang telah dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum, artinya ada perasaan harga diri bahwa apa yang dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum dapat juga dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan agama, sehingga akibatnya beban kurikulum yang terlalu banyak dan cukup berat dan bahkan terjadi tumpang tindih.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam mengambil secara utuh semua kurikulum (non-agama) dari kurikulum sekolah umum, kemudian tetap mempertahankan sejumlah program pendidikan agama, sehingga banyak bahan pelajaran yang tidak dapat dicerna oleh peserta didik secara baik, sehingga produknya (hasilnya) serba setengah-tengah atau tanggung baik pada ilmu-ilmu umum maupun pada ilmu-ilmu agama. Untuk itu, lembaga-lembaga pendidikan Islam sebenarnya mulai memikirkan kembali disain program pendidikan untuk menuju masyarakat madani, dengan memperhatikan relevansinya dengan bentuk atau kondisi serta ciri masyarakat madani. Maka untuk menuju "masyarakat madani", lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua fungsi yaitu apakah   mendisain model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing secara kompotetif dengan lembaga pendidikan umum atau mengkhususkan pada disain pendidiank keagamaan yang handal dan mampu bersaing secara kompotetif, misalnya mempersiapkan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid yang berkaliber nasional dan dunia.

C. Penutup
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulakn sebagai berikut : (1) Menyarakat madani merupakan suatu ujud masyarakat yang memiliki kemandirian aktivitas dengan ciri: universalitas, supermasi, keabadian, pemerataan kekuatan, kebaikan dari dan untuk bersama,   meraih   kebajikan   umum,   piranti   eksternal,   bukan   berinteraksi   pada keuntungan, dan kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya. ciri masyarakat ini merupakan masyarakat yang ideal dalam kehidupan. Untuk Pemerintah pada era reformasi ini, akan mengarakan semua potensi bangsa berupa pendidikan, ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, militer, kerah masyarakat madani yang dicita- citakan. (2) Konsep dasar pembaharuan pendidikan harus didasarkan pada asumsi- asumsi dasar tentang manusia meenurut aajaran Islam, filsafat dan teori pendidikan Islam yang dijabarkan dan dikembangkan berdasarkan asumsi-asumsi tentang manusia dan  lingkungannya.  Atau  dengan  kata  lain  pembaharuan  pendidikan  Islam  adalah filsafat dan teori pendidikan Islam yang sesuai dengan ajaran Islam, dan untuk lingkungan ( sosial - kultural) yang dalam hal ini adalah masyarakat madani. (3) Konsep dasar pendidikan Islam supaya relevan dengan kepentingan umat Islam dan relevan dengan disain masyarakat madani. Maka penerapan konsep dasar filsafat dan teori pendidikan harus memperhatikan konteks supra sistem bagi kepentingan komunitas "masyarakat madani" yang dicita-citakan bangsa ini.



DAFTAR PUSTAKA

Anwar Jasin, 1985, Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam : Tinjauan Filosofis, Jakarta. Conference Book, London, 1978.
Fathiyah Hasan Sulaiman, Bahts fi 'L-Madzhab al-Tarbawy 'Inda 'L-Ghazaly, Maktabah Nadhlah, Mesir, 1964., Terj., Ahmad Hakim dan M.Imam Aziz, Konsep Pendidikan al-Ghazali, P3M, Jakarta, Cet. I, 1986.
H.A.R. Tilar, 1998, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang, Cet. I,.
Imam Barnadib, 1997, Filsafat Pendidikan Sistem & Metode, Penerbit Andi, Yogyakarta, Cet. Kesembilan,.
Komaruddin    Hidayat,   1998,   Masyarakat   Agama   dan   Agenda   Penegakan Masyarakat Madani, Makalah "Seminar Nasional dan Temu Alumni, Program Pasca Sarjanan Universitas   Muhammadiyah   Malang,   Tanggal,   25-26 September.
Masykuri Abdillah, 1999, Islam dan Masyarakat Madani, Koran Harian Kompas, Sabtu, 27 Februari.
Muslim Usa (editor)1991, Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Tiara Wacana, Yogyakarta, Cet. I,
M.Rusli Karim, 1991, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia, dalam Buku Pendidikan Islam di Indonesia antara Citra dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogya, Cet.Pertama.
Roihan Achwan, 1991, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, dlm. Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Volume 1, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Soroyo, 1991, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000, dalam Buku : Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogya.
Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, 1986, Crisis Muslim Education., Terj. Rahmani Astuti, Krisis Pendidikan Islam, Risalah.
Zuhairini, dkk, 1995, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, Cet. II,