ARTIKELKU

Senin, 29 Oktober 2012


Komponen Dasar dan Dimensi Fitrah Sebagai Inner Potensial



Komponen Dasar dan Dimensi Fitrah
Sebagai Inner Potensial

I.     PENDAHULUAN
Membicarakan manusia berarti membicarakan kompleksitas yang ada di dalam diri manusia itu sendiri. Dr. Alexis Carrel (seorang  peletak dasar-dasar humaniora di Barat ) mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang misterius, karena derajat keterpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan perhatiannya  yang demikian tinggi terhadap dunia yang ada luar dirinya.[1] Pendapat ini menunjukkan tentang betapa sulitnya memahami manusia secara tuntas dan menyeluruh. Sehingga setiap kali seseorang selesai memahami dari satu aspek tentang manusia, maka muncul pula aspek yang lainnya.
Dalam berbagai literature, khususnya dibidang filsafat dan antropologi dijumpai berbagai pandangan para ahli tentang hakekat manusia. Sastraprateja, misalnya mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang historis.[2] Hakikat manusia itu sendiri adalah suatu sejarah, suatu peristiwa yang semata-mata datum. Hakikat manusia hanya dilihat dalam perjalanan sejarahnya, dalam sejarah perjalanan bangsa manusia. Saatraprateja lebih lanjut mengatakan, bahwa apa yang kita peroleh dari pengamatan kita atas pengamatan manusia adalah suatu rangkaian anthtropoligical constans, yaitu dorongan-dorongan dan orientasi yang dimiliki manusia.
Toh demikian manusia merupakan makhluk yang istimewa. Hal ini dikarenakan manusia dikaruniai akal sebagai keistimewaan dibandingkan makhluk lainnya. Manusia merupakan makhluk mulia dari segenap makhluk yang ada di alam raya ini. Allah  telah membekali manusia dengan berbegai keutamaan sebagai siri khas yang membedakan denngan makhluk yang lain. Untuk mengetahui komponen yang ada dalam manusia, hal ini bisa dilihat pengertian manusia dari tinjauan al qur’an.
Manusia disitilahkan dalam al qur’an dalam tiga hal, yaitu al-basyir, al- insan, dan an-nas.[3] Al-basyar dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk biologis yang memiliki sagala sifat kemanusiaan dan keterbatasan, seperti makan, minum, seks, kebahagiaan, dan lainnya. Adapun kata al-insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak , atau pelupa. Secara istilah al-insan berarti adanya totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan ruhani. Harmonisasi kedua aspek tersebut mengantarkan manusia sebagai mahluk Allah yang unik dan istimewa. Hal ini akan terintegrasi dalam iman dan amalnya.
An-Nas menunjukkan  pada eksistenti manusia sebagai makhluk social secara keseluruhan Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk struktur yang sempurna. Hal ini bisa dilihat dari ciptaan Allah yang lainnya. Penciptaan selain manusia hanya terdiri dari struktur jasmani (fisiologi) saja. Kalaupun ada stuktur rohani seperti yang terdapat pada hewan dan tumbuhan, tetapi tidak dikarunia akal sebagai sentral aktivitas manusia. Manusia memiliki kedua struktur tersebut, jasmani dan rohani.  Dengan kedua struktur tersebut, maka manusia memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan tersebut. Dalam dunia psikologi disebut dengan potensialitas atau disposisi atau prepotence reflexes.[4]
Al Qur’an menegaskan bahwa manusia mempunyai karakteristik yang unik. Atribut pertama yang dimiliki oleh manusia adalah manusia dilengkapi fitrah yang di miliki oleh manusia. Manusia tidak memiliki dosa waris turun-temurun karna pengusiran Adam dari surga. Manusia di berikan amanat sebagai khalifah di muka bumi. Manusia khalifah Allah tidak dibenarkan menyatakan kebenaran absolute yang bersifat lahiriah. Manusia harus tunduk pada perintah Allah dan tidak di benarkan menggantian yang selain itu yang bertentangan dengan perintah Allah tersebut.
Keistimewaan fitrah inilah yang menarik banyak cendekiawan mengulasnya. Banyak persepsi mengenai makna fitrah. Sehingga kadang melenceng dari konsep fitrah  yang sesuai dengan yang dimaksudkan dalam al  Qurr’an dan hadis nabi. Sebagian mereka mengartikan fitrah sebagai potensi beragama yang dibawa manusia semenjak di dalam rahim ketika mengikat perjanjian dengan Tuhan, sebagian lainnya mengartikan sebagai kemampuan-kemampuan jasmaniah dan rohaniah. Kendati demikian perbedaan tersebut menuju kepada satu tujuan yaitu menciptakan seorang muslim yang mampu mengemban tugas dan fungsinya sebagai ‘abd maupun sebagai khalifah di muka bumi.
Selain itu bagaimana fitrah manusia tersebuat menjadi modal sebagai inner potensial semakin menarik untuk dibahas.
II.  PEMBAHASAN
A.    Pengertian Fitrah
Pengertian fitrah sangat beragam. Keberagaman ini disebabkan oleh perbedaan pemilihan sudut makna. Fitrah dapat dipahami secara etimologi, terminologi dan bahkan makna konteks dalam pemahaman suatu ayat (nasabi). Makna etimologi menggambarkan konsep dasar struktur kepribadian, makna terminologi menggambarkan integritas hakekat struktur kepribadian, dan makna nasabi menggambarkan aktivitas, natur, watak, kondisi dan dinamisme kepribadian.
Makna secara etimologis mengungkap bahwa fitrah mempunyai dua pengertian. Pertama, fitrah berarti al-insyiyaq atau al-syaqq yang berarti al-inkisar (pecah atau belah). Arti ini diambil dari lima ayat yang menyebut kata fitrah (dari 20 ayat yang menyebut kata fitrah) yang obyeknya ditujukan pada langit. Kedua, Fitrah berarti al-Khilqah, al-ijad, atau al-ibda’ yang berarti penciptaan. Arti kedua ini diambil dari 14 ayat yang enam di antaranya berkaitan dengan penciptaan manusia, sedang sisanya berkaitan dengan penciptaan langit dan bumi.[5]
Kedua makna ini, sebenarnya saling melengkapi. Makna pecah atau belah kendati digunakan untuk pemaknaan yang berkaitan dengan alam (langit dan bumi), namun sebenarnya dapat dipergunakan untuk manusia. Hal ini mengingat bahwa manusia adalah mikro kosmos dan alam adalah makro kosmos. Artinya, manusia adalah miniatur dari jagad raya yang luas ini. Selain itu, juga mengingat proses penciptaan manusia juga mengalami pro¬ses pengurangan kromosom melalui pembelahan sel, maka makna pecah atau belah dapat juga dipakai dalam penciptaan manusia.[6]
Sementara tentang makna nasabi atau makna yang dipahami dari konteks ayat dan hadits, Makna-makna tersebut ada sepuluh, yaitu:
Pertama, fitrah berarti suci. Kesucian dalam pemaknaan ini lebih berorientasi pada kesucian jiwa. Artinya, setiap manusia yang lahir membawa potensi suci. Suci bukan berarti kosong sebagaimana dipahami John Locke atau Psikologi Behavioristik, tetapi suci berarti bersihnya jiwa manusia dari dosa waris ataupun dosa asal. Dengan potensi suci ini setiap manusia lahir dalam atribut baik. Selanjutnya terserah bagaimana manusia mengolah dengan mengaktualisa-sikannya atau malah mengotori kesuciannya.
Kedua, fitrah berarti potensi ber-islam. Pemaknaan ini menunjukkan tujuan penciptaan fitrah (konstitusi dan watak) manusia adalah agar mampu menerima Islam. Islam merupakan isi asal atau watak konstitusi manusia yang pada gilirannya akan melahirkan kebudayaan. Namun bila potensi ber-Islam tersebut tidak teraktualisasikan sesuai dengan jalan yang digariskan oleh Pemberi potensi, maka potensi ini berarti telah diingkari.
Ketiga, Fitrah berarti mengakui ke-Esaan Allah SWT (tauhid Allah). Makna ini mempunyai pengertian bahwa manusia secara potensial memiliki potensi bertauhid, atau paling tidak, ia mempunyai kecenderungan untuk mengesakan Tuhan.
Keempat, berarti kondisi selamat dan kontinuitas (istiqomah). Makna ini memberikan pengertian bahwa fitrah tidak mengandung iman atau kufur. Fitrah hanya berarti keselamatan dalam proses penciptaan, watak dan strukturnya. Iman atau kufur akan muncul setelah mencapai akil baligh. Artinya, manusia dilahirkan dalam keadaan membawa potensi untuk menemukan keimanan melalui pendengaran, penglihatan dan hati nurani.
Kelima, fitrah berarti ikhlas. Manusia lahir dengan membawa potensi sifat baik, termasuk di dalamnya adalah ikhlas. Keikhlasan ini membuat seseorang mampu melaksanakan kegiatan atau aktivitasnya dengan ketulusan dan kemurnian.
Keenam, fitrah berarti kesanggupan atau predisposisi untuk menerima ke-benaran. Dari pemaknaan ini berarti manusia lahir dengan membawa kesanggupan untuk mencari kebenaran tujuan hidupnya.
Ketujuh, fitrah berarti potensi dasar manusia atau perasaan untuk beribadah dan makritat (mengenal) Allah SWT.
Kedelapan, fitrah berarti ketetapan atau takdir asal man usia mengenai kebahagiaan dan kesengsaraan. Artinya manusia berpotensi untuk menjadi orang yang baik atau buruk, bahagaia atau celaka. Potensi baik dan buruk, bahagia atau celaka menunggu aktualisasi dari pilihan manusia yang bersangkutan.
Kesembilan, fitrah sebagai watak atau tabiat manusia. Pemaknaan ini berkaitan dengan daya yang menggerakkan jasad manusia. Makna inilah yang lebih tepat untuk mengungkap pembagian, natur dan aktivitas fitrah.
Kesepuluh, fitrah berarti sitat-sitat Allah yang ditiupkan untuk setiap manusia sebelum dilahirkan..[7]
Menurut Ibnu Taimiyah, dalam diri manusia setidaknya terdapat tiga potensi (fitrah), yaitu:[8]
1.      Daya intelektual (quwwat al-‘aql), yaitu potensi dasar yang memungkinkan manusia dapat membedakan nilai baik dan buruk. Dengan daya intelektualnya, manusia dapat mengetahui dan meng-Esakan Tuhannya.
2.      Daya ofensif (quwwat al-syahwat), yaitu potensi dasar yang mampu menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.
3.      Daya defensif (quwwat al-ghadhab) yaitu potensi dasar yang dapat menghindarkan manusia dari segala perbuatan yang membahayakan dirinya. Namun demikian, diantara ketiga potensi tersebut, di samping agama – potensi akal menduduki posisi sentral sebagai alat kendali (kontrol) dua potensi lainnya. Dengan demikian, akan teraktualisasikannya seluruh potensi yang ada secara maksimal, sebagaimana yang disinyalir oleh Allah dalam kitab dan ajaran-ajaranNya. Penginkaran dan pemalsuan manusia akan posisi potensi yang dimilikinya itulah yang akan menyebabkannya melakukan perbuatan amoral.
B.       Komponen dasar Fitrah Manusia
Jika kita perhatikan berbagai pandangan para ulama dan ilmuwan Islam yang telah memberikan makna terhadap istilah “FITRAH” yang diangkat dari firman Allah dan sabda Nabi bahwa fitrah adalah suatu kemampuan dasar berkembang manusia yang dianugrahkan Allah kepadanya. Di dalamnya terkandung berbagai komponen psikologi yang satu sama lain berkaitan dan saling menyempurnakan bagi hidup manusia.
Komponen-komponen fitrah tersebut adalah:
1.      Kemampuan dasar untuk baragama Islam (ad-dinul qayyimaah), di mana faktor iman merupakan intinya beragama manusia. Muhammad ‘Abduh, Ibnu Qayyim, Abu A’lah Al-Maududi, Sayyid Qutb berpendapat sama bahwa fitrah mengandung kemampuan asli untuk beragama Islam, karena Islam adalah agama fitrah atau identik dengan fitrah. Ali Fikry lebih menekankan pada peranan heriditas (keturunan) dari bapak-ibu yang menentukan keberagamaan anaknya. Faktor keturunan psikologi (heriditas kejiwaan) orang tua anak merupakan salah satu aspek dari kemampuan dasar manusia itu.
2.      Mawahid (bakat) dan Qabiliyyat (tendensi atau kecenderungan) yang mengacu kepada keimanan kepada Allah. Dengan demikian maka “fitrah” mengandung komponen psikologi yang berupa keimanan tersebut. Karena iman bagi seorang mukmin merupakan elan vitale (daya penggerak utama) dalam dirinya yang memberi semangat untuk mencari kebenaran hakiki dari Allah.
Prof. DR. Mohammad Fadhil Al-Djamaly, juga berpendapat bahwa Islam itu adalah Agama yang mendorong manusia untuk mencari pembuktian melalui penelitian, berfikir dan merenungkan ke arah iman yang benar.
3.       Naluri dan kewahyuan (revilasi) bagaikan dua sisi dari uang logam; keduanya saling terpadu dalam perkembangan manusia. Menurut Prof. DR. Hasan Langgulung, FITRAH itu dapat dilihat dari dua segi yakni: Pertama, segi naluri sifat pembawaan manusia atau sifat-sifat Tuhan yang menjadi potensi manusia sejak lahir, dan yang Kedua, dapat dilihat dari segi wahyu yang diturunkan kepada Nabi-nabi-Nya. Jadi potensi manusia dan agama wahyu merupakan satu hal yang nampak dalam dua sisi; ibaratnya mata uang logam yang mempunyai dua sisi yang sama. Mata uang itu kita ibaratkan fitrah
4.      Dilihat dari sisi ia adalah potensi dan sisi lain adalah wahyu.
Prof. Langgulung memandang bahwa sifat-sifat Tuhan yang 99 macam (Asma Al-Husna) merupakan potensi yang masing-masing berdiri sendiri. Tetapi bila dikombinasikan akan timbul sifat-sifat atau potensi manusia yang jumlahnya berjuta-juta macamnya.
5.      Kemampuan dasar untuk beragama secara umum, tidak hanya terbatas pada agama Islam. Dengan kemampuan manusia dapat dididik menjadi agama Yahudi, Nasrani ataupun Majusi, namun tidak dapat dididik menjadi atheist (anti Tuhan). Pendapat ini diikuti oleh banyak ulama Islam yang berpaham ahli Mu’tazilah antara lain Ibnu Sina dan Ibnu Khaldun.
6.      Dalam fitrah tidak terdapat komponen psikologis apapun, karena fitrah diartikan sebagai kondisi jiwa yang suci bersih yang reseptif terbuka kepeda pengaruh eksternal, termasuk pendidikan. Kemampuan untuk mengadakan reaksi atau responsi (jawaban) terhadap pengaruh dari luar tidak terdapat di dalam fitrah. [9]
Pendapat ini dikembangkan oleh para ulama ahli Sunnah Wal Jama’ah atau beberapa filosof muslim antara lain: Al-Ghazaly.
Untuk lebih jelasnya berikut ini dikemukakan sebuah diagram tentang fitrah dan komponen-komponennya:
Komponen komponen diatas menunjukan aspek-aspek psikologis fitrah yang saling pengaruh mempengaruhi antara satu aspek terhadap aspek lainnya. Aspek-aspek tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
  1. Fitrah adalah faktor kemampuan dasar perkembangan manusia yang terbawa sejak lahir yang berpusat pada potensi dasar untuk berkembang.
  2. Potensi dasar itu berkembang secara menyeluruh (integral) yang menggerakkan seluruh aspek-aspeknya yang secara mekanistis satu sama lain saling pengaruh mempengaruhi menuju ke arah tujuan tertentu.
  3. Aspek-aspek fitrah adalah merupakan komponen dasar yang bersifat dinamis, responsif terhadap lingkungan sekitar, termasuk pengaruh pendidikan.
Komponen-komponen dasar tersebut meliputi :
  1. Bakat, suatu kemampuan pembawaan yang potensial mengacu kepada perkembangan kemampuan akademis (ilmiah) dan keahlian (profesional) dalam berbagai bidang kehidupan.
  2. Insting atau gharizah, adalah suatu kemampuan berbuat atau bertingkah laku dengan tanpa melalui proses belajar.
  3. Nafsu dan dorongan-dorongannya (drivers)
  4. Karakter atau watak tabiat manusia adalah merupakan kemampuan psikologis yang terbawa sejak kelahirannya.
  5. Hereditas atau keturunan adalah merupakan faktor kemampuan dasar yang mengandung ciri-ciri psikologis dan fisiologis yang diturunkan/diwariskan oleh orang tua baik dalam garis yang dekat maupun yang telah jauh.
  6. Intuisi adalah kemampuan psikologis manusia untuk menerima ilham tuhan.[10]
C.       Dimensi Fitrah Manusia
Dimensi-dimensi fitrah yang dimaksud di sini adalah aspek-aspek yang terdapat dalam fitrah manusia. Dimensi fitrah menjadi tiga bagian, yaitu fitrah fisik yang disebut dengan Fitrah Jismiah atau Jasadiah, fitrah psikis yang disebut Fitrah Ruhaniah dan fitrah psikopisik yang disebut dengan Fitrah Natsaniah.[11] Masing-masing fitrah ini memiliki natur, potensi, hukum, dan ciri-ciri sendiri.
Fitrah Jismiah adalah citra penciptaan fisik manusia yang terdiri dari struktur organisme fisik. Organisme fisik manusia lebih sempurna dibanding dengan organisme fisik makhluk-makhluk yang lain. Komponen fisik manusia hanya memiliki daya inderawi yang empirik dan tidak memiliki daya batini, kecuali apabila indera tersebut dihubungkan dengan ruh manusia. Apabila indera ini telah terhubungkan dengan ruh manusia maka terjadilah apa yang disebut dengan Daya Nafsiah. Dengan daya nafsiah ini maka semua komponen fisik tersebut akan mampu mencapai daya batini, seperti melihat sesuatu lalu dipersepsi dan dihayati sehingga menimbulkan rasa indah atau buruk, rasional dan irasional dan sebagainya.
Dimensi Fitrah Ruhaniah adalah citra penciptaan manusia yang mempunyai komponen, potensi, fungsi, sifat, prinsip kerja, dinamisme dan mekanisme tersendiri untuk mewujudkan hakekat manusia yang sebenarnya. Fitrah Ruhaniah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu fitrah ruhaniah yang berhubungan dengan zatnya sendiri dan fitrah ruhaniah yang berhubungan dengan badan jasmani. Fitrah ruhaniah yang pertama disebut dengan fitrah al-munazzalah, sedang fitrah yang kedua disebut dengan fitrah gharizat, atau disebut dengan fitrah nafsaniah.
Fitrah al-munazzalah Merupakan potensi luar manusia. Adapun fitrah ini adalah wahu ilahi yang diturunkan Allah untuk membimbing dan mengarahkan fitrah al gharizat berkembang sesuai dengan fitrahnya yang hanif. Semakin tinggi interaksi antara kedua fitrah tersebut, maka akan semakin tinggi pula kualitas manusia.
Fitrah al-munazzalah adalah potensi ruhani yang diturunkan atau diberikan secara langsung dari Allah kepada jiwa manusia. la tidak dapat berubah, sebab jika potensi ini berubah, maka berubah pula eksistensi manusia. Fitrah al-munazzalah ini merupakan amanat Allah yang dititipkan kepada manusia.[12]
Selanjutnya, fitrah al-gharizat merupakan potensi dalam diri manusia yang dibawanya sejak lahir. Bentuk fitrah ini berupa nafsu, akal, dan hati nurani. Hal ini adalah bagian fitrah ruhani yang berhubungan dengan fitrah jasadi. Fitrah al-gharizat inilah yang disebut dengan fitrah nafsaniah yang merupakan dimensi fitrah yang ketiga.
Fitrah nafsaniah adalah merupakan citra penciptaan psikofisik manusia. Pada fitrah inilah komponen jasad dan ruh bergabung. Fitrah nafsaniah ini secara inheren telah ada sejak manusia siap menerimanya, yaitu usia empat bulan dalam kandungan. Fitrah nafsaniah ini merupakan citra kepribadian manusia, yang aktualisasinya sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti usia, pengalaman, pendidikan, pengetahuan, lingkungan dan sebagainya. Fitrah nafsaniah ini memiliki potensi gharizah, yaitu potensi insting, tabiat, perangai, kejadian laten, ciptaan dan sifat bawaan.
Fitrah nafsaniah ini adalah merupakan alam yang tak terukur besarnya. la adalah keseluruhan semesta, karena ia merupakan miniatur alam semesta. Segala apa yang ada di alam semesta tercermin di dalam fitrah nafsaniah ini. Demikian juga, apa saja yang terdapat dalam fitrah ini juga tergambar di alam semesta. Oleh karena itu, barangsiapa yang menguasai jiwanya pasti menguasai alam semesta.
Dari penjelasan dimensi dimensi fitrah tersebut di atas bashwa fitrah bersifat potensial dan perlu ada upaya – upaya tertentu untuk mengaktualisasinya.

D.      Fitrah Sebagai Inner Potential
Inner potential dalam istilah maslow disebut kodrat batin yang bersifat pembawaan, intrinsik, tidak jahat, dan cenderung baik  sementara dalam bahasa psikologi sufistik, dimaknai  fitrah rûhaniyyah atau inner potential yang memiliki daya positif. Inner potential ini, bila dikembangkan terus melalui jalan tashfiyat al nafs (penjernihan jiwa dari hal-hal yang tercela dan pengembangan melalui berbagai perbuatan terpuji) maka secara psikologis akan berpengaruh positif terhadap kesalihan tingkah laku. dengan demikian, inner potential sebagai potensi ruhaniah memiliki hubungan fungsional dengan tingkah laku psikologis yang dimunculkan. Tesis tersebut dibangun atas dasar sebuah pandangan yang menyatakan, bahwa “suasana batin yang kondusif dalam keadaan sempurna dan bersih, akan memunculkan tingkah laku yang baik dan positif. Kemungkinan ini terjadi karena dalam realitas hamper tidak mungkin ntingkah laku muncul dipermukaan tanpa adanya sebab dalam bentuk dorongan yang berbasiskebutuhan psikologis
Manusia sebagai objek kajian psikologi sufistik tidak hanya dimaknai dalam keterkaitannya dengan dimensi jasmaniah dan kejiwaan dalam tataran psikofisik, tetapi pemaknaannya dikaitkan juga dengan dimensi ruhaniah dalam tataran spiritual dan transendental. Konsep di atas didasarkan atas sebuah pandangan, bahwa manusia diciptakan dari dua unsur, jasmaniah dan ruhaniah. unsur jasmaniah terdiri dari materi, sedang unsur ruhaniah berasal dari tuhan yang bersifatspiritual dan transendental. karenanya, ada pendapat yang menyatakan bahwa manusia selain memiliki sifat sifat kemanusiaan (nasût), jugamemiliki potensi ketuhanan (lahût)
Atas dasar pemikiran tersebut, maka manusia dalam persepektif psikologi sufistik dituntut untuk menumbuh kembangkan potensi ruhaniyah melalui tahapan takhalli, tahalli, dan tajalli hingga sampai pada tingkat manusia ideal atau insan kamil dari sisi psikologi sebenarnya merupakan proses aktualisasi diri, dimana manusia mencoba dan berusaha mewujudkan akhlak ilahiyah sebagai rototipenya, sehingga timbul kesadaran yang kuat untuk mengubah situasi hidupnya ke arah hidupyang bermakna  pemancaran sifat-sifat ilahi dalam wujud akhlak insanimerupakan perintah allah dalam al qur’an:
“berbuatlah baik sebagaimanaallah berbuat baik kepadamu”.
Ayat tersebut mengajarkan kepada kita bahwa tingkah laku manusia dengan sesamanya hendaknya dimanifstasikan dalam bentuk menteladani sifat-sifat ilahi dalam kehidupan keseharian sesuaidengan batas kemampuan kemanusiannya.[13]
Potensi ruhaniyah ( Inner Potensial meliputi ;
a. al-Qalb
Menurut Al-Ghazali qalb mempunyai dua pengertian. Arti pertama adalah hati jasmani (al-Qalb al-jasmani) atau daging sanubari (al-lahm al-sanubari), yaitu daging khusus yang berbentuk jantung pisang yang terletak di dalam rongga dada sebelah kiri dan berisi darah hitam kental. Qalb dalam arti ini erat hubungannya dengan ilmu kedokteran, dan tidak banyak menyangkut maksud-maksud agama dan kemanusiaan, karena hewan dan orang mati pun mempunyai qalb. Sedangkan qalb dalam arti kedua adalah sebagai luthf rabbani ruhiy. al-Qalb merupakan alat untuk mengetahui hakikat sesuatu.
Lapisan Qalb yang terluar disebut al-shadr yang merupakan tempat masuknya godaan penyakit, unek- unek , syahwat, dan segala kebutuhan. al-Shadr itu bisa lapang dan bisa sempit. Ia juga sekaligus munculnya cahaya Islam. Ia juga tempat menyimpan ilmu yang bersumber dari pendengaran. Sifat-sifatnya adalah insyirah dan dlaiq ( QS. 3 : 154. QS: 11 : 12 QS: 15 : 97 QS: 26 : 12-13 ). Kadar kebodohan dan kemarahan, dada seseorang menjadi sempit. Dan tidak ada batas kelapangannya. Jika al-shadr sempit dengan kebenaran maka penuh dengan kebatilan.
Lapisan Qalb yang kedua disebut al-qalb. Ia sebagai sumber cahaya keimanan, khusu’, taqwa, ridla, yakin, khauf, raja`, sabar, qanaah. Al-qalb ibarat raja dan nafs adalah kerajaan. Sifat-sifatnya a’ma ( QS. 22 :46 ) Lapisan Qalb yang ketiga adalah al-Fuad yang merupakan tempat ma’rifat, bersitan (khawatir) dan penglihatan ( al-ru`yah ) Lapisan qalb yang keempat adalah al-lub yang merupakan tempat cahaya tauhid.
Alqalb sebagai inner potensial bila diberdayakan secara optimal, dapat berfungsi sebagai pemandu bagi pengembangan semua tingkah laku, qalb yang berfunsi secara optimal dapat dikategorikan sebagai qlbu salim atau hati yang sehat, yang indikasinya dapat diperhatikan melalui cirri – cirri sebagai berikut (1) selamat dari setiap nafsu yang menyalahi ajaran Allah, (2) selamat dari hal – hal yang yang berlawanan dengan kebaikan dan kebenaran, (3) selamat dari penghambaan selain Allah , (4) bila mencintai dan membenci sesuatu karena Allah (5) memiliki sikap kepribadian yang baik terhadap didri sendiri, (6) memiliki keseimbangan mental dan (7) memiliki empati dan kepekaan social. [14]
b. al-Aql
Ada beberapa pengertian tentang aql. Pertama, aql adalah potensi yang siap menerima pengetahuan teoritis. Kedua, aql adalah pengetahuan tentang kemungkinan sesuatu yang mungkin dan kemuhalan sesuatu yang mustahil yang muncul pada anak usia tamyiz, seperti pengetahuan bahwa dua itu lebih banyak dari pada satu dan kemustahilan seseorang dalam waktu yang bersamaan berada di dua tempat.Ketiga, aql adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman empirik dalam berbagai kondisi. Keempat ,aql adalah potensi untuk mengetahui akibat sesuatu dan memukul syahwat yang mendorong pada kelezatan sesaat.[15]
Dengan demikian orang yang berakal adalah orang yang didalam melalukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan didasarkan pada akibat yang akan muncul bukan didasarkan pada syahwat yang mendatangkan kelezatan sesaat. Aql yang pertama dan kedua merupakan bawaan sedangkan aql yang ketiga dan keempat merupakan usaha.
Di dalam al-Qur`an, kata aql dalam bentuk kata benda tidak ditemukan yang ditemukan di dalam al-Qur`an adalah kata kerjanya yakni ya’qilun, ta’qilun dan seterusnya. Aqala ( fi’il Madli, kata kerja lampau) berarti menahan atau mengikat. Dengan demikian al-A’qil (isim fail) berarti orang yang menahan atau mengikat hawa nafsunya sehingga nafsunya terkendali karena diikat atau ditahan. Sedangkan orang yang tidak mempunyai aql tidak mengikat nafsunya sehingga nafsunya liar tak terkendali.
Aql sebagai inner potensial dan sebagai alat berfikir atau daya fikir, dalam psikologi sugistik memiliki 4 potensi (1) Potensi yang dapat membedakan citra manusia dengan hewan, (2) potensi yang dapat mengetahui perbuatan baik yang selanjutnya diamalkan dan perbuatan buruk selanjutnya ditinggalkan, (3) potensi yang dapat menyerap pengalaman, dan (4) potensi dapat mengantarkan seseorang untuk mengetahui akibat segala tindakan. [16]
c. al-Ruh
Para ulama berbeda –beda dalam mengartikan ruh. Sebagaian mengartikan kehidupan (al-hayah). Sementara menurut al-Qusyairi, ruh adalah jisim yang halus bentuknya (sebagaimana malaikat, setan) yang merupakan tempat akhlak terpuji. Dengan demikian ruh berbeda dengan al-nafs dari sisi potensi positif dan negatif. Nafsu sebagai pusat akhlak tercela sementara ruh sebagai pusat akhlak terpuji. Ruh juga merupakan tempat mahabbah pada Allah.[17]
d. al-Nafs
Al-Nafs sebagai inner potential dibedakan menjadi 2 pengertian. Pertama, al-Nafs sebagai subtansi badani yang berpotensi amoral, mengabaikan pertimbangan akal / hati nurani manusia. Nafs ini cenderung mengartikan al-Nafs dengan konotasi negatif. Itulah sebabnya nafsu wajib diperangi (mujahadah al-nafs)[18]
Kedua sebagai subtansi yang berepotensi baik dan beradap. al-Nafs dalam arti ini mendapat berbagai julukan sesuai dengan kondisinya. Jika al-Nafs dalam menghadapi syahwat dengan tenang maka dijuluki al-Nafs al-Muthmainnah, Jika al-Nafs dalam menghadapi syahwat dengan tidak tenang tapi lebih cenderung mengikutinya maka diberi julukan al-Nafs al-Ammarah,  Nafs al-Nafs al-Ammarah bisa menjadi al-Nafs al-Muthmainnah manakala seseorang terbebas dari akhlak yang tercela.[19]
Menurut al-Ghazali nafsu diartikan “Perpaduan kekuatan marah (gadlab) dan syahwat dalam diri manusia”. Kekuatan ghadlab pada awalnya tentu untuk sesuatu yang positif seperti untuk mempertahankan diri, mempertahankan agama dan sebagainya. Dengan adanya ghdlab itulah jihad diperintahkan dan kehormatan diri terjaga. Dengan kekuatan marah seorang wanita menolak untuk dinodahi agama dan kehormatannya. Dengan kekuatan marah seseorang dapat menumpas kedhaliman dan sebagainya. Namun ketika gadlab tidak terkendali maka yang terjadi adalah kehancuran dan akhlak tercela. Demikian juga dengan syahwat (syahwat sek) perkembangbiakan manusia tetap berjalan, perpaduan antara pria dan wanita yang membentuk satu keluarga bisa terjadi sehingga akan terbentuk komunitas sosial. Dengan syahwat (makan dan minum), muamalah mencari rejeki dapat berjalan. Bisa dibayangkan seandainya tidak ada syahwat makan, minum dan sebagainya tentu roda perekonomian tidak mungkin berjalan. Namun bila syahwat tidak dikendalikan maka yang terjadi adalah kehancuran dan akhlak tercela.[20]
Fitrah manusia sebagai anugerah Allah SWT yang tak ternilai harganya itu harus dikembangkan agar manusia dapat menjadi manusia yang sempurna (insan al-kamil). M. Natsir menyebutkan bahwa pengembangan fitrah adalah salah satu tugas risalah yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW.
Setiap usaha pengembangan fitrah itu harus dilaksanakan secara sadar, berencana, dan sistematis. Secara eksplisit dapat dipahami dari firman Allah SWT di dalam Al-Quran, yaitu :
a.          Allah SWT menghendaki demikian sebagaimana firman-Nya :
“Sesungguhnya kamu akan meningkat maju setahap demi setahap.” (Q.S. Al-Insyiqaq: 19)
b.         Sunatullah (hukum alam ciptaan Allah) juga menghendaki demikian. Segala sesuatu di dalam alam berproses menurut hukum tertentu yang disebut sunatullah. Sebagaimana firman Allah :
“Allah yang telah menciptakan segala sesuatu lalu diproses-Nya ke arah sempurna.” (Q.S. Al-A’la: 2)
Pengembangan fitrah manusia harus dilaksanakan secara menyeluruh dan berimbang. Apabila semua fitrah tersebut tidak dilaksanakan secara menyeluruh dan berimbang maka tidak akan tercapai manusia yang sempurna (insan al-kamil), bahkan dapat mendatangkan kehancuran bagi manusia. Isyarat Al-Quran mengatakan bahwa :
1)        Manusia yang fitrah agamanya tidak dikembangkan, sehingga ia menjadi kafir, maka ia adalah sejahat-jahat hewan melata.
Firman Allah SWT :
“Sesungguhnya sejahat-jahat hewan yang melata menurut Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka tidak mau beriman.” (Q.S. Al-Anfal: 55)
2)        Manusia yang fitrah intelektualnya tidak dikembangkan, sehingga ia menjadi bodoh, maka ia adalah lebih sesat dari hewan.
“Dan sesungguhnya telah Kami sediakan isi neraka itu kebanyakan dari jin dan manusia, bagi mereka ada akal tetapi tidak dapat berpikir dengannya, dan bagi mereka ada mata tetapi tidak dapat melihat dengannya dan baginya ada telinga tetapi tidak dapat mendengar dengannya, mereka itu adalah seperti hewan, bahkan lebih sesat, mereka itu adalah orang-orang yang lalim.” (Q.S. Al-A’raf: 179)
Walaupun hidayah aql dan qalb merupakan hidayah yang dapat mengembangkan fitrah manusia, namun apa yang dapat diperoleh aql dan qalb tersebut bersifat relatif, maka dengan hidayah Din dapat diperoleh kebenaran yang mutlak dan hakiki.

III.    KESIMPULAN
Fitrah merupakan semua bentuk potensi yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada manusia semenjak proses penciptaannya di alam rahim guna kelangsungan hidupnya di atas dunia serta menjalankan tugas dan fungsinya sebagai makhluk terbaik yang diciptakan oleh Allah swt.
Fitrah dilihat dari pengertian nativistik adalah faktor hereditas (keturunan) yang bersumber dari orang tua, termasuk keturunan beragama (religiositas). Pengertian nativistik yang dimaksudkan adalah suatu paham yang menyatakan bahwa perkembangan manusia dalam hidupnya secara mutlak ditentukan oleh potensi dasarnya. Proses kependidikan sebagai upaya untuk mempengaruhi jiwa anak dididk tidak berdaya merubahnya, paham yang nativisme ini berasal dari pandangan filosofis ahli pikir Italia bernama Lomrosso dan ahli pikir Jerman bernama Schopenheuer pada abad pertengahan.
Fitrah yang dimiliki manusia itu merupakan karunia dari Allah kepada mereka, yang mana didalamnya terdapat beberapa komponen-komponen, baik itu komponen psikologis, komponen potensi, ataupun itu komponen dasar.
Manusia memiliki kemampuan untuk menerima sifat-sifat Tuhan dan mengembangkan sifat-sifat tersebut adalah merupakan potensi dasar manusia yang terbawa sejak lahir.


[1] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam , 2005, Gaya Media Pratama, Jakarta, hal.  81
[2] Ibid, hal. 80
[3] Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikira Pendidikan Islam, 2001, Media Pratama, Jakarta hal. 44
[4] M.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, 2003, PT Bumi Aksara, Jakarta, hal. 42
[5] M. Quraish Shihab, Membumikan Al Quran, Bandung, Mizan, 1996, hal. 284
[6] Abdul Mujib M.Ag, 1999, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, Darul Falah Jakarta, , hal. 36
[7] Armai Arief, Dr. MA., , 2002, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat Pers, Jakarta, hal. 6 -7
[8] Samsul Nizar, 2001, Pengantar Dasar-Dasar Pemikira Pendidikan Islam, Media Pratama, Jakarta,  hal. 76
[9] M. Arifin, Prof. H. M. Ed., 2000, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 97-100
[10] Ibid., hal. 100-103
[11] Abdul Mujib M.Ag, 1999, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, Darul Falah Jakarta, , hal. 36 -69
[12] Ahmad, Zayadi, 2004, Manusia dan Pendidikan dalam persepektif Al-Quran, , PSPM,   Bandung,  hal 50 -51
[13] Abdullah Hadziq Dr. Kontribusi Psikologi sufistik terhadap pengembangan pendidikan Multicultural, Jurnal ISJD LIPI, Edisi 7 Vol. IV  April 2008, hal. 8 - 9
[14] Abdullah Hadziq Dr, Opcit, hal 12
[15] Tedi Priatna. 2004, Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam, Pustaka Bani Quraisy. Bandung, hal  88.
[16] Abdullah Hadziq Dr, Opcit hal 11
[17] Abdurrahman Saleh Abdullah, 1994, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan AL Qur’an, PT Rineka Cipta, Jakarta, Hal. 68
[18] Samsul Nizar, 2001, Pengantar Dasar-Dasar Pemikira Pendidikan Islam, Media Pratama, Jakartal. 58
[19] Abdullah Hadziq Dr, Opcit hal 13
[20] http://mazguru.wordpress.com/2009/02/08/potensi-ruhaniah-manusia