ARTIKELKU

Rabu, 26 Oktober 2011

ETIKA ISLAM


A.  Latar Belakang Masalah
kata-kata seperti “etika”, “etis”,dan “moral” tidak terdengar dalam ruang kuliah saja dan tidak menjadi monopoli kaum cendekiawan. Diluar kalangan intelektual pun sering disinggung hal-hal seperti itu. Memang benar, dalam obrolan dipasar atau ditengah penumpang-penumpang opelet kata-kata itu jarang sekali muncul. Tapi jika membuka surat kabar atau majalah, hampir setiap hari kita menemui kata-kata tersebut. Apalagi bila dikaitkan dengan penegasan Rasulullah SAW; bahwa kehadirannya dimuka bumi ini missi utamanya adalah menyempurnakan akhlak yang mulia.
Perkembangan pemikiran manusia selalu menarik untuk dikaji. Manusia yang berfikir adalah manusia yang dinamis. Karena determinasi naturalistic yang membawa manusia kepada puncak posisi sebagai makhluk Tuhan adalah kemampuannya untuk berfikir itu.
Berfikir adalah sebuah aktivitas awal yang menggerakkan seluruh aktivitas kemanusiaan. Para filosof adalah manusia-manusia pilihan yang mengabdikan dirinya pada pergulatan keilmuan dan pemikiran yang tiada henti. Walaupun pandangan sinis sering diarahkan kepada kaum filosof sebagai kelompok yang hanya duduk dikursi dan menteorikan dunia hayalan, tetapi kehadiran para filosof telah memberikan warna tersendiri bagi kehidupan didunia ini. Setidaknya mereka mampu mengabstraksikan realitas yang dia lihat utamanya dalam konsep-konsepnya tentang etika.
Studi etika mencakup berbagai macam persoalan, tidak hanya persoalan lokal, melainkan juga persoalan yang ada di muka bumi ini. Persoalan yang baru saja tuntas yaitu perbedaan antara hak manusia satu dan manusia yang lain, tampaknya belum benar-benar tuntas. Diindikasikan bahwa masih ada saja persoalan tentang rasisme, etnis, dan suku. Indonesia yang plural ini sangat rawan terhadap masalah yang seperti ini, mengingat Indonesia tidak hanya plural dari segi budaya melainkan juga agama. Banyak perbedaan-perbedaan manusia mulai dari fisik, ekonomi, budaya, ekonomi, dan politik. Dalam perbedaan tersebut juga terdapat berbagai kepentingan, yaitu kelompok tertentu yang memiliki pemikiran yang berbeda dengan kelompok lainnya.
B.       PERMASALAHAN
Dalam Makalah ini Penulis mengajukan Permasalahan – Permasalahan : Bagaimana Pengertian Etika dan etika Islam?, Apakah Etika bersifat relative atau absolute ?, apakah sifat nilai-nilai itu relatif atau absolute berlaku local atau universal?  adakah sanksi atas pelanggaran nilai-nilai etika itu dan apakah sumber nilai—nilai etika, dan bagaimana  aplikasinya dalam masyarakat ?
C.       PEMBAHASAN
1.    Pengertian Etika dan etika Islam
            Etika adalah suatu cabang filsafat yang membicarakan tentang perilaku manusia. Atau dengan kata lain, cabang filsafat yang mempelajari tentang baik dan buruk.
            Untuk menyebut etika, biasanya ditemukan banyak istilah lain : moral, norma dan etiket.[1] Seperti halnya dengan banyak istilah yang menyangkut konteks ilmiah, istilah “etika” pun bersal dari Yunani kuno. Kata Yunani ethos  merupakan bentuk tunggal yang bisa memiliki banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap dan cara berpikir. Bentuk jamaknya adalah ta etha yang berarti: adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” dalam filsafat. Dalam sejarahnya, Aristoteles (384-322 SM) sudah menggunakan istilah ini yang dirujuk kepada filsafat moral.
            Istilah lainya yang memiliki konotasi makna dengan etika adalah moral. Kata moral dalam bahasa Indonesia  berasal dari kata bahasa Latin mores  yang berarti adat kebiasaan. Kata mores  ini mempunyai sinonim; mos, moris, manner mores, atau manners, morals. Kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hatinurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Kata moral ini dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang menjadi etika.[2]
            Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang baik buruk, yang diterima umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban dan sebagainya. Pada hakikatnya moral menunjuk pada ukuran-ukuran yang telah diterima oleh suatu komunitas, sementara etika umumnya lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan di pelbagai wacana etika. Akhir-akhir ini istilah etika mulai digunakan secara bergantian dengan filsafat moral sebab dalam banyak hal, filsafat moral juga mengkaji secara cermat prinsip-prinsip etika.[3]
            Ketika dihubungkan dengan Islam, selalu muncul pertanyaan mendasar, adakah sesungguhnya yang disebut sebagai etika Islam itu?. Menurut abdul Haq Anshari dalam Islamic Ethics: Concepts and Prospects meyakini bahwa sesungguhnya Etika  Islam sebagai sebuah disiplin ilmu atau subyek keilmuan yang mandiri tidak pernah ada pada hari ini. Menurutnya kita tidak pernah menjumpai karya-karya yang mendefinisikan konsepnya, menggambarkan isu-isunya dan mendiskusikan pemaslahannya. Apa yang kita temukan justru diskusi yang dilakukan oleh berbagai kalangan penulis, dari kelompok filosof, teolog, ahli hukum Islam, sufi dan teoretesi ekonomi dan politik dibidang mereka masing-masing tentang berbagai isu, baik yang merupakan bagian dari keilmuan mereka atau relevan dengan etika Islam.[4] Toh Demikian Penulis bias menyimpulkan bahwa Etika islam adalah cabang ilmu filsafat yang membicarakan baik dan buruk prilaku manusia yang dinaungi cahaya Islam artinya prilaku manusia tersebut di dasarkan atas rel dan aturan – aturan Agama Islam.
Di bawah ini beberapa pendapat tokoh filsafat tentang etika Islam
  1. Al-Kindi
            Dalam hal ini etika Al-Kindi berhubungan erat dengan definisi mengenai filsafat atau cita filsafat.[5] Filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan manusia[6]. Yang dimaksud dengan definisi ini ialah agar manusia memiliki keutamaan yang sempurna, juga diberi definisi yaitu sebagai latihan untuk mati. Yang dimaksud ialah mematikan hawa nafsu, dengan jalan mematikan hawa nafsu itu untuk memperoleh keutamaan.[7] Kenikmatan hidup lahiriah adalah keburukan. Bekerja untuk memperoleh kenikmatan lahiriah berarti meningggalkan penggunaan akal.
b.      Al-Razi
                        Filsafat etika al-Razi yang lain adalah :
a.       Al-Razi juga berkata bahwa manusia harus mengendalikan hawa nafsunya; ia mengemukakan perbedaan-perbedaan yang dikemukakan perbedaan-perbedaan yang dikemukakan oleh Plato tentang-tentang aspek jiwa :
b.      Al-Razi juga berkata bahwa manusia harus mengendalikan hawa nafsunya; ia mengemukakan perbedaan yang dikemukakan oleh tentang-tentang aspek jiwa :
1.      Nalar
2.      Lingkungan
3.      Hasrat dan menunjukkan bagaimana keadilan  mesti mengatasi semua itu.
c.       Al-Razi mengenali dusta, dusta adalah hal yang buruk
d.      Tamak adalah suatu keadaan yang sangat buruk yang dapat menimbulkan rasa saki dan bencana. Mabuk menyebabkan malapetaka dan sakitnya jiwa dan raga dan sebagainya.[8]
            Dan keempat pendapat tersebut tercakup dalam  Risalah etika Al-Razi yang cukup terkenal, Obat Pencahar Rohani (Spiritual Phisic).[9]
3.   Al-Farabi                                                                                               
            Al-Farabi menyebutkan bahwa kebahagiaan adalah pencapaian kesempurnaan akhir bagi manusia,[10] al-Farabi juga menekankan empat jenis sifat  utama yang harus menjadi perhatian untuk mencapai kebahagiaan didunia dan diahirat bagi bangsa-bangsa dan setiap warga negara, yakni :
a.       Keutamaan teoritis, yaitu prinsip-prinsip pengetahuan yang diperoleh sejak awal tanpa diketahui cara dan asalnya, juga yang diperleh dengan kontemplasi, penelitian dan melalui belajar.
b.      Keutamaan pemikiran, adalah yang memungkinkan orang mengetahui hal-hal yang bermanfaat dalam tujuan. Termasuk dalm hal ini, kemampuan membuat aturan-aturan, karena itu disebut keutamaan pemikiran budaya (fadhail fikriyah madaniyyah).
c.       Keutamaan akhlak, bertujuan mencari kebaikan. Jenis keutamaan ini berada dibawah dan menjadi syarat keutamaan pemikiran, kedua jenis keutamaan tersebut, terjadi dengan tabiatnya dan bisa juga terjadi dengan kehendak sebagai penyemprna tabiat atau watak manusia.
d.      Keytamaan amalia, diperoleh dengan dua cara yaitu pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan merangsang.[11]
4.      Ikhwan al-Safa`
            Adapun tentang moral etika, ikhwan al-Safa’ bersifat rasionalistis. Untuk itu suatu tindakan harus berlangsung bebas merdeka. Dalam mencapai tingkat moral dimaksud, seseorang harus melepaskan diri dari ketergantungan kepada materi. Harus memupuk rasa cinta untuk bisa sampai pada eksatase. Percaya tanpa usaha, mengetahui tanpa berbuat adalah sia-sia. Kesabaran dan ketabahan, kelembutan, kasih saying dan keadilan. Rasa syukur, mengutamakan kebajikan, gemar berkorban untuk orang lain kesemuanya harus menjadi karakteristik pribadi. Sebaliknya, bahasa kasar, kemunafikan, penipuan, kezaliman dan kepalsuan harus dikikis habis sehingga timbul kesucian perasaan, kecintaan yangmembara sesama manusia, dan keramahan terhadap alam dan binatang liar sekalipun.
            Jiwa yang telah dibersihkan akan mampu menerima bentuk-bentuk cahaya spiritual dan entitas-entitas yang bercahaya. Semakin suci jiwa dan tidak terbelenggu oleh ikatan jasmani, semakin dapat memahami makna dasar yang tersembunyi dalam kitab suci dan kessuainya dengan data pengetahuan rasional dalm filsafat. Sebaliknya, selama jiwa terperosok dalam daya pikat tubuh dan oleh keinginan-keinginan dan kesenangan-kesenanganya, ia tidak dapt mengetahui makna kitab suci dan ia tidak akan dapat beranjak kepad bola-bolalangit dan secara langsungmerenungkan apa yang ada disana.[12]
5.      Ibnu Maskawaih
            Akhlak, menurut Maskawaih, ialah suatu sikap mental atau keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat tanpa piker dan pertimbangan. Sementara  tingkah laku manusia terbagi menjadi dua unsure, yakni unsure watak naluriah dan unsure lewat kebiasaan dan latihan.[13]
            Berdasarkan ide diatas, secara tidak langsung Ibnu Maskawaih menolak pandangan orang-orang Yunani yang mengatakan bahwa akhlak manusia tidak dapat berubah. Bagi Ibnu Maskawaih akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak yang terpuji dengan jalan pendidikan (Tarbiyah al-Akhlak) dan latihan-latihan. Pemikiran seperti ini jelas sejalan dengan ajaran Islam karena kandungan ajaran Islam secara eksplisittelah mengisyaratkan kearah ini dan pada hakikatnya syariat agama bertujuan untuk mengokohkan dan memperbaiki akhlak manusia. Kebenaran ini jelas tidak dapat dibantah, sedangkan akhlak atau sifat binatang saja bisa berubah dariliar menjadi jinak, apalagi akhlak manusia.[14]
            Masalah pokok yang dibicarakan dalam kajian tentang akhlak adalah kebaikan (al-khair), kebahagiaan (al-sa’adah) dan keutamaan (al-fadhilah). Menurut Ibnu Maskawaih, kebaikan adalah suatu keadaan dimana kita sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan adakalanya umum dan adakalanya khusus. Diatas semua kebaikan itu terdapat kebaikan mutlak yang identik dengan wujud tertinggi.
6.      Al-Ghozali
            Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan rohaninya dan rasa akrabnya terhadap Tuhan. Sesuai dengan prinsip Islam, al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan  rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Al-ghazali juga mengakui bahwa kebaikan tersebur dimana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disedeeer hanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
            Bagaimana cara bertaqarrub kepada Allh itu, al-Ghazali memberikan beberapa cara latihan yang langsung mempengaruhi rohani. Diantaranya yang terpenting ialah muraqabah, yakni merasa diawasi terus oleh Tuhan, dan al-mahasabah, yakni senantiasa mengoreksi diri sendiri.
            Menurut al-Ghazali, kesenangan itu ada dua tingkatan, yaitu kepuasan dan kebahagiaan. Kepuasan adalah apabila kita mengetahui kebenaran sesuatu. Bertambah banyak mengetahui kebenaran itu, bertambah banyak orang merasakan kebahagiaan.
            Akhirnya, kebahagiaan yang tertinggi itu ialah bila mengetahui                  kebenaran dari sumber segala kebahagiaan itu sendiri. Itulah yang dinamakan ma’rifatullah, yaitu mengenal adanya Allah tanpa syak sedikit juga dan dengan penyaksian hati yang sangat yakin.[15]
7.      Ibnu Bajjah
            Ibnu Bajjah membagi perbuatan manusia menjadi perbuatan hewani dan manusiawi. perbuatan hewani didasarkan atas dorongan naluri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan keinginan hawa nafsu. Sementara itu, perbuatan manusiawi adalah perbuatan yang didasrkan atas petimbangan rasio dan kemauan yang bersih lagi luhur.
            Secara ringkas Ibbnu Bajjah membagi tujuan perbuatan manusia menjadi tiga tingkat sebagai berikut  :
a.       Tujuan jasmaniah, dilakukan atas dasar kepuasan rohaniah. Pada tujuan ini manusia sama derajatnya dengan hewan.
b.      Tujuanrohaniah husus, dilakukan atas dasar kepuasan rohaniah. Tujuan ini akan melahirkan keutamaan akhlaqiyyah dan aqliyyah.
c.       Tujuan rohaniah umum (rasio), dilakukan atas dasar kepuasan pemikiran untuk dapat berhubungan dengan Allah. Inilah tingkat manusia yang sempurnadan taraf inilah yang ingin dicapai manusia penyendiri Ibnu Bajjah.[16]
8.      Ibnu Thufail
            Menurutnya, manusia merupkan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan esesnsi non-bendawi, dan dengan demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan Tuhan. Karena itu pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek sifatnya, dengan cara meniru tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa dan Tuhan. Mengenai peniruanya, pertamaterikat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya akan kebutuhan-kebutuhan pokok serta menjaganya dari cuaca burukdan binatang buas, dengan satu tujuan yaitu mempertahankan jiwa hewani. Peniruan yang kedua menuntut darinya kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek hidup dan tak hidup, pereungan atas esensi Tuhan dan  perputaran atas esesnsi Tuhan dan perputaran esensi orang dalam ekstase.
9.      Ibnu Rusyd
            Mengenai etika Ibnu Rusyd membenarkan teori Plato yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk social yang membutuhkan kerja sama untuk memenuhi keperluan hidup dan mencapai kebahagiaan. Dalam merealisasikan kebahagiaan yang merupakan tujuan ahir bagi manusia, diperlukan bantuan agama yang akan meletakkan dasar-dasarkeuamaan akhlak secara praktis, juga bantuan filsafat yang mengajarkan keutamaan teoritis, untuk itu diperlukan kemampuan perhubungan dengan akal aktif.[17]
            Menurut al-Thusi bahwa kebahagiaan utama adalah tujuan moral utama, yang ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia didalam evolusi kosmik dan diwuudkan lewat kesediannya untuk berdisiplin dan patuh. Al-Thusi juga menempatkan kebajikan (tafadhol) diatas keadilan dan cinta (mahabbah) sebagai sumber alami kesatuan, diatas kebajikan.
            Bagi al-Thusi, penyakit moral bisa disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab, yaitu (1) keberlebihan, (2) keberkurangan dan (3) ketakwajaran akal, kemarahan atau hasrat. Bagi al-Thusi masyarakat berperan. Bagi al-Thusi, masyarakat juga berperan menentukan kehidupan moral, sebab pada dasarnya manusia adalah makhluk social, bahkan kesmpurnaannya terletak pada tindakannya yang bersifat social kepad sesamanya. Dengan kata lain, ia mendukung konsep cinta dan persahabatan.
2.      Hakikat Baik dan Jahat
Apakah yang baik itu, apa ukurannya, dan apakah nilai nilai baik di satu tempat dengan tempat yang lainnya berbeda atau sama ?
Sebagai contoh kasus adalah menghormati seorang tamu yang sudah dikenal baik dan bermaksud baik, seperti   orangtua, mantan guru atau teman dekatnya, maka semua  orang, apapun kebangsaan, agama, dan pekerjaannya, semua sepakat bahwa menghormati tamu itu adalah baik.  Akan tetapi bisa terjadi cara menghormati seorang tamu di satu tempat dengan tempat lainnya itu berbeda. Bagi orang  Arab barangkali memegang kepala adalah suatu kehormatan, sementara memegang pantat adalah penghinaan, sebaliknya bagi orang jawa memegang kepala bisa dianggap merendahkan.
Dilihat dari nilai-nilai etika, hakikat baik dan jahat itu bersifat universal dan absolute [18]seperti membunuh bayi adalah jahat dan menghormati ibu adalah baik, dan bagi siapa pun  orangnya, kebangsaannya, agamanya, di manapun dan   kapan pun, semuanya sepakat terhadap nilai-nilai baik dan jahat tersebut di atas. Akan tetapi, dilihat dari segi aplikasi  nilai-nilai etika itu dalam realitas kehidupan, bisa saja terjadi perbedaan-perbedaan, seperti bentuk-bentuk penghormatan. bisa jadi antara satu daerah dengan daerah lainnya berbeda, demikian juga pembunuhan bayi untuk menyelamatkan ibunya, dalam dilema medik untuk memilih salah satunya ibu atau anaknya, jika kedua-duanya tidak bisa diselamatkan masih dapat dimengerti.
Persoalan etika pada dasarnya lebih berada pada dataran aplikatif, karena dalam realitas kehidupan konkret, berbagai persoalan dilematik muncul dan nilai – nilai yang universal dan absolut itu menghadapi tantangan yang kompleks, yang tidak sepenuhnya dapat dijalankan dengan mulus. Seperti yang terjadi saat   akibat krisis moneter yang  berdampak pada krisis ekonomi, telah menimbulkan kesulitan hidup dan rawan pangan, sementara pengangguran merajalela. Dalam situasi yang demikian, apakah penjarahan makanan untuk menyambung hidup tidak diperbolehkan, atau diperbolehkan tetapi hanya terbatas sampai tingkat kelaparan bisa diatasi atau diperbolehkan sama sekali tanpa catatan. Itulah barangkali kontroversialnya pernyataan Menpangan dan Holtikultura Kabinet Reformasi Dr Saifuddin yang menghebohkan, yang memperbolehkan penjarahan di bawah 5%.
Dalam konsep filsafat Islam, yang baik itu disebut al  mar'ruf artinya semua orang secara kodrat tahu dan menerimanya sebagai kebaikan, sedangkan yang jahat itu disebut al-munkar yaitu semua orang secara kodrati menolak dan mengingkarinya[19].  Nilai baik atau al-ma’ruf dan nilai jahat atau al—munkar adalah bersifat universal, dan kita diperin tahkan untuk melakukan yang baik dan menjauhi serta melarang tindakan yang jahat. Alquran 3:104 mengatakan :
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ  
Artinya : Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang mengajak kebaikan, menyurah kepada al ma’ruf dan mencegah dari yang al—munkar dan merekalah 0rang—0rang yang beruntung.

Akan tetapi dalam dataran aplikatif, terdapat kelonggaran hukum yang berlaku hanya dalam keadaan darurat saja. Yaitu diperbolehkannya melanggar suatu larangan, adlaruratu   tubihulmahdlurat; bahkan jika  satu-satunya jalan untuk  dapat bertahan hidup adalah hanya memakan barang yang dilarang  agama, umpamanya memakan bangkai atau babi, maka diperbolehkan memakannya, bahkan memakannya saat itu dapat berubah menjadi wajib hukumnya. Alquran 2:173 mcngatakan:   
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ͍ƒÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎŽötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§ ÇÊÐÌÈ  

Artinya : Sesungguhnya Allah mengharamkan bagi kamu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah, maka barang siapa terpaksa dan dia tidak mcnginginkannya,   {  dan tidak pula melebihi batas, maka tidaklah ia berdosa. sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.    

3.       Etika Sosial
Dalam kehidupan sosial berlangsung proses komunikasi dan interaksi antara berbagai individu dan kelompok, bahkan ( seringkali mengambil bentuk adanya konflik dan ketegangan  sosial. Konflik dan ketegangan sosial itu muncul oleh adanya pluralitas, baik dalam pandangan hidup, ideologi politik, kesukuan, budaya dan keyakinan agama serta kepentingan ekonomi. Di sampmg itu, pluralitas seringkali dipertegang oleh adanya kesenjangan ekonomi, kesenjangan tingkat pendidikan “ (dan penguasaan birokrasi pemerintahan antara kelompok yang  satu dengan kelompok yang lainnya.  ( Etika sosial di perlukan dalam masy arakat sarat pluralitas, mempunyai mekanisme penyelesaian masalah -masalah yang dihadapi, berdasarkan nilai-nilai etika yang menjadi bagian fundamental dari tata kehidupan sosialnya. Melalui proses pembudayaan dan pemberdayaan  etika sosial, maka pluralitas yang ada akan menjadi bagianl  dari proses perekat dan memperkaya hubungan emosional dari berbagai kelommpok sosial. Etika sosial itu dibangun dari akar agama dan kebudayaan yang menjadi bagian fundamental kehidupan masyarakat turun-temurun dan selalu diaktualisasikan secara kreatif dan kontekstual sesuai dengan perubahan masyarakat dalam berbagai aspeknya.  Dalam hubungan ini, maka etika sosial pada dasarnya dibangun untuk memperkuat dan memperkaya pluralitas, yang lahir dari proses dialektik dengan mencari bentuk-bentuk sintetik yang selalu mencair dengan perubahan, dan terus berdialektik menuju bentuk-bentuk sintetik baru yang lebih baik sesuai dengan tantangan perubahan dan kemajemukan. Etika sosial itu antara lain dibangun dari prinsipprinsip dasar kehidupan bersama, yaitu:
a.        Persamaan dan Kebersamaan
Prinsip persamaan dan kebersamaan artinya semua kelompok sosial pada dasarnya mempunyai kedudukan yang sama, tanpa harus menghilangkan adanya stratifikasi sosial yang telah menjadi realitas sosial, dan masing-masing kelompok sosial mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Dengan persamaan itu diharapkan muncul kebersamaan hidup yang kuat, kebersamaan dalam suka dan duka serta kebersamaan dalam, menghadapi tantangan masa depan kehidupan.  Dalam filsafat Islam, realitas plurals itu merupakan kodrat kehidupan itu sendiri, tidak bisa ditolak dan apalagi diingkari, bahkan merupakan kehendak Tuhan sendiri, karena jika Tuhan tidak menghendaki adanya pluralitas, tentu sangat mudah bagi-Nya untuk membuat realitas hanya tunggal, tetapi kenyataannya yang ada adalah pluralitasi dalam berbagai aspek kehidupan manusia di dunia. Alquran  5:48 mengatakan:

!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 šú÷üt/ Ïm÷ƒytƒ z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# $·YÏJøygãBur Ïmøn=tã ( Nà6÷n$$sù OßgoY÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ( Ÿwur ôìÎ6®Ks? öNèduä!#uq÷dr& $£Jtã x8uä!%y` z`ÏB Èd,ysø9$# 4 9e@ä3Ï9 $oYù=yèy_ öNä3ZÏB Zptã÷ŽÅ° %[`$yg÷YÏBur 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuŽöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãŠsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmŠÏù tbqàÿÎ=tFøƒrB ÇÍÑÈ  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar